Kisruh Pulau Aceh-Sumut Usai, Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah Disorot

Foto bersama Kabinet Merah Putih, sorotan muncul atas koordinasi yang dinilai kurang solid dalam pengambilan keputusan. (Dok. Indonesia.go.id)
Foto bersama Kabinet Merah Putih, sorotan muncul atas koordinasi yang dinilai kurang solid dalam pengambilan keputusan. (Dok. Indonesia.go.id)

Prabowo Kembalikan ke Aceh, Pakar Kritik Lemahnya Koordinasi

Kisruh tersebut berakhir setelah Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat terbatas secara virtual dari Rusia.

Rapat itu diikuti oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Mendagri Tito Karnavian, Mensesneg Prasetyo Hadi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.

Dalam rapat tersebut, Prabowo memutuskan untuk mengembalikan status kepemilikan empat pulau itu ke dalam wilayah administratif Provinsi Aceh.

“Kami mewakili pemerintah berharap putusan ini menjadi jalan keluar baik bagi kita semua. Ini menjadi solusi yang kita harapkan mengakhiri semua dinamika di masyarakat,” kata Prasetyo di Kantor Presiden, Rabu (18/06/2025).

Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH UNPAD Muhammad Yoppy menilai polemik ini sebagai dampak dari buruknya koordinasi antara Presiden dan para menterinya.

“Presiden juga seharusnya menegaskan kembali bahwa ‘tidak ada visi misi Menteri’ dan mengimplementasikannya dengan tegas. Terlihat sekali saat ini tidak ada koordinasi yang baik antara Menteri dan Presiden,” ujar Yoppy.

Baca Juga: Unpad Verifikasi Jalur Prestasi 2025 Bidang Tahfizh dan Non-Akademik

Ia menambahkan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran perlu membangun komunikasi terpusat agar tidak terjadi perbedaan pernyataan di internal kabinet sendiri.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesian and Development Policy Cusdiawan menyayangkan bahwa pengambilan kebijakan oleh Kemendagri terkesan sentralistik dan tidak melibatkan pemerintah daerah. Hal itu dinilainya menjadi akar munculnya kegaduhan publik.

“Gejolak yang timbul justru menunjukkan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pihak yang bersengketa,” kata Cusdiawan.

Ia juga menilai komunikasi publik Kemendagri buruk dan minim sensitivitas terhadap kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Cusdiawan mengingatkan pentingnya pertimbangan faktor sosiologis dan historis dalam pengambilan kebijakan strategis.

Lebih lanjut, ia mengkritik sikap pemerintah yang cenderung defensif dalam merespons isu. Sebutan “isu liar” yang disampaikan Mensesneg menurutnya justru memperkuat kecurigaan publik terhadap legitimasi kebijakan pemerintah.

Cusdiawan menekankan bahwa kejadian ini seharusnya menjadi evaluasi bagi Prabowo untuk memperbaiki sistem komunikasi dan pengambilan keputusan pemerintahan agar tidak memicu krisis sosial dan politik di masa mendatang. (fd)

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id