“Tahun 1989-1990 jalan gertak kita ubah jadi beton. Itu masalahnya, resapan sulit berfungsi saat hujan. Nah yang demikian tersebut masalah karena alam, ada lagi masalah transportasi,” sebutnya.
Satu lagi yang menjadi tantangan pembangunan adalah transportasi. Di Kota Pontianak, lanjut Edi, kemacetan saat berkendara tak jarang mengganggu kenyamanan warga. Oleh karena itu dibangunlah Duplikasi Jembatan Kapuas I yang diprediksi mampu mengurai kemacetan dari 40-50 persen. Tak hanya itu, pihaknya juga tengah mengusahakan terbangunnya Jembatan Garuda yang akan menghubungkan Jalan Bardan Nadi dengan Siantan.
“Kita bangun duplikasi karena sudah mengganggu aktivitas, dan berdampak pada turunnya produktivitas masyarakat,” ujar dia.
Sebagai ibu kota provinsi, pembangunan berjalan sangat pesat. Meski begitu, Edi ingin Pontianak lebih banyak ruang terbuka hijau (RTH) ketimbang menambah jalan-jalan yang tak jarang memperparah kondisi alam. Prinsipnya, penataan kota yang humanis secara tidak langsung turut mengubah kebiasaan masyarakat. Kepada mahasiswa Fakultas Teknik Untan tersebut, dia berharap untuk mempelajari dengan maksimal kondisi sekitar dan dapat memberikan masukan terhadap prosesnya.“Di tangan mahasiswa ini estafet pembangunan berlanjut,” pungkasnya. (rfk/prokopim )