Belajar dari ‘Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati’: 4 Realitas Hidup yang Mengingatkan Kita untuk Bahagia Sederhana

"Merasa lelah dengan tuntutan hidup? Simak 4 alasan kenapa filosofi 'Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati' sangat relevan untuk mengingatkan kita akan bahagia yang sederhana."
Merasa lelah dengan tuntutan hidup? Simak 4 alasan kenapa filosofi 'Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati' sangat relevan untuk mengingatkan kita akan bahagia yang sederhana. (Dok. Ist)

Faktakalbar.id, LIFESTYLE – Pernahkah Anda mendengar frasa “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”? Entah itu merujuk pada judul karya fiksi atau sekadar celotehan satir di media sosial, kalimat ini memiliki daya magis yang aneh.

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang menuntut kita untuk selalu produktif, kaya raya, dan terlihat sempurna, keinginan sederhana untuk menikmati semangkuk mie ayam hangat sebelum ajal menjemput terasa begitu grounding (membumi).

Frasa ini bukan tentang kematian, melainkan tentang bagaimana kita menghargai kehidupan.

Di era yang serba cepat dan penuh kecemasan ini, filosofi mangkuk ayam jago ternyata menyimpan relevansi yang menohok.

Baca Juga: Gajian Tiba? Traktir Imajinasi Anda dengan 4 Buku Berkualitas Ini

Berikut adalah 4 poin kehidupan modern yang membuat konsep “Seporsi Mie Ayam” menjadi sangat relate dan penting untuk kita renungkan:

1. Antitesis dari Hustle Culture yang Membakar Jiwa

Dunia modern memaksa kita untuk bekerja keras bagai kuda (hustle culture).

Kita sering kali makan sambil mengetik laporan, menelan nasi tanpa merasakannya, demi mengejar target yang tak ada habisnya.

Filosofi “Seporsi Mie Ayam” mengajarkan seni jeda. Mie ayam yang panas tidak bisa dimakan terburu-buru.

Anda harus meniup kuahnya, mengaduk bumbunya pelan-pelan, dan menyeruputnya (slurping).

Ia memaksa kita untuk melambat.

Ini adalah pengingat bahwa hidup bukan cuma soal garis finish, tapi tentang menikmati setiap suapan di tengah perjalanan.

2. Validasi Semu vs Kenikmatan Nyata

Kita hidup di era digital di mana kebahagiaan sering diukur dari jumlah likes atau seberapa estetik foto makanan kita di Instagram.

Kita sibuk mencari validasi semu dari orang asing.

Sebaliknya, mie ayam terutama yang dijual di gerobak pinggir jalan adalah simbol keaslian (authenticity).

Ia mungkin tidak cantik difoto, tempatnya mungkin gerah, tapi rasanya jujur dan langsung menyentuh lidah.

Poin ini mengingatkan kita untuk berhenti mengejar validasi maya dan mulai mencari kebahagiaan yang nyata, yang bisa dirasakan oleh indra kita sendiri, bukan oleh algoritma.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id