OPINI – Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.6/MENHUT/SETJEN/KUM.02/7/2025 menjadi tonggak penting dalam tata kelola hutan di Indonesia.
Aturan ini secara tegas menyatakan bahwa semua kegiatan pemanfaatan hutan dalam kawasan hanya dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pemerintah daerah dilarang menarik pajak atau retribusi tambahan yang menyebabkan pajak ganda atau pungutan berganda.
Langkah ini diambil untuk mengatasi masalah klasik: tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah.
Selama bertahun-tahun, pelaku usaha kehutanan, khususnya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), menghadapi beban ganda.
Mereka membayar PNBP ke pemerintah pusat, namun pada saat yang sama, harus membayar pajak air permukaan atau retribusi lain ke pemerintah daerah.
Kondisi ini bukan hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga merusak iklim investasi kehutanan.
PBPH sebagai “Sapi Perahan”
Selama ini, PBPH seringkali diposisikan sebagai “sapi perahan.”
Pemerintah daerah melihatnya sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) instan, sementara pemerintah pusat memposisikan mereka sebagai penyetor PNBP. Akibatnya, pelaku usaha terjebak dalam pusaran tarik-menarik kepentingan fiskal.
Tak jarang, PBPH juga menjadi “kelinci percobaan” kebijakan, dihantam regulasi baru tanpa transisi yang jelas.
Saat terjadi kebakaran hutan, konflik sosial, atau turunnya harga komoditas global, PBPH dengan mudah dijadikan “kambing hitam.” Padahal, mereka adalah investor yang menanam modal jangka panjang, membangun infrastruktur, dan menyerap tenaga kerja di pedalaman Kalimantan.
“Ayam Bertelur Emas” Kalimantan Barat
Dalam logika pembangunan, PBPH seharusnya dipandang sebagai “ayam bertelur emas” bagi Kalimantan Barat.
Mereka berpotensi memberi kontribusi produktivitas ekonomi yang tinggi, menyerap jutaan tenaga kerja, dan menopang pertumbuhan ekonomi daerah.
Jika kebijakan fiskal diterapkan dengan tepat, PBPH bisa menjadi mesin pertumbuhan Kalbar dengan target ambisius: pertumbuhan ekonomi 8% per tahun.
Angka ini bukan sekadar mimpi, melainkan realistis jika biaya usaha ditekan, kepastian hukum diberikan, dan dukungan infrastruktur memadai (World Bank, 2024).
Pajak Air Permukaan: Masalah Konkret di Kalbar
Salah satu isu paling relevan di Kalbar adalah pajak air permukaan yang ditarik oleh Dinas PU Provinsi. Sesuai UU No. 1/2022, pajak air permukaan memang menjadi kewenangan provinsi.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















