Faktakalbar.id, PONTIANAK – Festival Tengkawang VII atau Tengkawang Fest 2025 kembali digelar sebagai wadah konsolidasi jaringan pengelola tengkawang se-Kalimantan.
Acara yang mengusung tema “For Us, For Earth” ini menegaskan bahwa tengkawang bukan sekadar pohon penghasil biji, melainkan penopang aspek sosial, budaya, ekonomi, hingga ketahanan pangan masyarakat lokal.
Ketua Panitia Festival, bersama akademisi dan komunitas adat, menekankan pentingnya tengkawang tungkul (Rubroshorea macrophylla) salah satu jenis meranti-merantian dari famili Dipterocarpaceae sebagai komoditas strategis.
Buahnya yang diolah menjadi mentega atau minyak nabati telah lama menjadi pangan tradisional, sekaligus bahan baku potensial untuk industri makanan dan kosmetik.
Baca Juga: Festival Tengkawang VII Digelar di Pontianak, Sang Maskot Kalbar Kian Terancam
Nilai Ekonomi Tengkawang
Produk olahan tengkawang saat ini sudah menembus pasar internasional. Harga mentega tengkawang mentah berkisar Rp150.000–Rp200.000 per kilogram, sementara turunan bernilai tambah seperti butter olahan dan kosmetik alami bisa menembus harga lebih tinggi di pasar global.
Jika dikelola berkelanjutan, komoditas ini berpeluang menjadi salah satu pilar ekonomi hijau Kalimantan Barat.
Di sisi lain, pola produksi tengkawang yang tidak berbuah setiap tahun menjadi tantangan. Panen raya umumnya hanya terjadi 3–4 tahun sekali, sehingga masyarakat perlu strategi pengolahan dan penyimpanan agar nilai ekonominya tetap stabil.
Dukungan Ketahanan Pangan
Selain nilai jual, tengkawang memiliki peran penting dalam mendukung ketahanan pangan. Lemak nabati dari biji tengkawang dapat menjadi substitusi minyak sawit atau margarin impor.
Beberapa desa bahkan telah memproduksi margarin tengkawang secara tradisional untuk konsumsi rumah tangga.
Ke depan, potensi diversifikasi pangan ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada komoditas minyak nabati tunggal, sekaligus menjaga tradisi kuliner lokal.
Festival ini menghadirkan kebaruan (novelty) dengan menempatkan tengkawang tungkul bukan semata komoditas ekonomi, melainkan juga simbol bio-kultural masyarakat Dayak yang erat kaitannya dengan kelestarian hutan.
Dari sisi pangan, buah ini diperkenalkan sebagai sumber lemak nabati alternatif yang dapat mendukung diversifikasi pangan lokal sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor minyak nabati.
Keterlibatan jejaring yang melibatkan akademisi, komunitas adat, dan pelaku usaha juga menunjukkan pendekatan baru dalam mengelola hasil hutan non-kayu secara berkelanjutan.
Baca Juga: Kodam XII/Tanjungpura Beri Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan untuk Mahasiswa Kehutanan Untan
Meski demikian, masih terdapat sejumlah research gap yang perlu segera diisi.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















