Menurut Herman, para buruh ini tidak seharusnya menanggung beban pidana karena posisi mereka yang hanya menjalankan perintah.
“Para pekerja hanyalah buruh perakit kayu yang bekerja sesuai perintah. Mereka tidak berwenang menentukan legalitas dokumen maupun status kayu. Kesalahan administrasi tidak bisa serta-merta dijadikan tindak pidana,” tegas Herman pada Kamis (21/8/2025).
Senada dengan itu, Datok Panglima Bunga Lawai mendesak aparat penegak hukum, khususnya Pengadilan Negeri Ketapang, untuk bertindak lebih bijaksana.
Ia menyayangkan bagaimana rakyat kecil kerap menjadi korban, sementara pengusaha sebagai pemilik modal seolah kebal hukum.
Baca Juga: Pelaku Pencurian Kayu Balok di Nanga Pinoh Ditangkap Warga
Datok Lawai juga menyoroti kondisi para buruh yang kini terlantar. Mereka tidak lagi menerima gaji maupun uang makan, padahal masih harus menjaga aset kayu milik PT Boma.
Ia pun meminta Bupati Ketapang, Alexander Wilyo, untuk turun tangan.
“Sudah sering rakyat kecil yang dikorbankan. Jika ada masalah hukum, yang jadi tumbal selalu pekerja, sementara pemilik perusahaan memperkaya diri dan lolos dari tanggung jawab,” ujar Datok Lawai.
Dr. Herman menambahkan bahwa penerapan Pasal 18 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam kasus buruh kayu ini adalah sebuah kekeliruan fatal.
Menurutnya, pasal tersebut seharusnya menargetkan pelaku utama yang mendapatkan keuntungan.
“Ini seperti menghukum kurir pengantar barang karena barangnya bermasalah, sementara pemilik barangnya dibiarkan bebas. Buruh harus dibebaskan, dan pemilik perusahaanlah yang harus bertanggung jawab,” tegas Herman.
Kasus buruh kayu ini kini menjadi ujian berat bagi penegakan hukum di Ketapang, mempertaruhkan kredibilitas keadilan bagi masyarakat kecil di hadapan kepentingan korporasi.
Baca Juga: Pria Diduga Curi Kayu Belian di Bekas Gedung Graha Pramuka, Diamankan Polsek Pontianak Kota
(*Red)
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















