Mantan Koruptor Boleh Nyaleg, Wujud Buruknya Kaderisasi Parpol

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan adanya mantan koruptor yang mencalonkan diri lagi dan mendapat dukumgan partai politik, menunjukkan demokrasi Indonesia sedang bermasalah.Kabar bahwa mantan narapidana kasus korupsi boleh menjadi calon anggota legislatif kembali dipersoalkan menjelang Pemilihan Umum 2024.Demikian dilansir dari VoA Indonesia.

Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Senin (29/8), menegaskan mantan narapidana kasus korupsi yang maju menjadi calon anggota legislatif merupakan bentuk hilangnya rasa malu pada masyarakat. Sebab sejatinya mereka pernah berkhianat atas mandat yang pernah diberikan oleh masyarakat.

Dia menambahkan kalau partai kembali mencalonkan mantan koruptor dalam Pemilihan Umum 2024 maka hal ini memicu pertanyaan mengenai proses kaderisasi dalam partai politik yang bersangkutan.

“Apakah sudah sebegitu sulit mencari orang-orang yang bersih rekam jejaknya. Apakah di partai politik itu cukup sulit untuk menentukan nama-nama yang lebih berintegritas ketimbang harus mencalonkan orang-orang yang sempat mendekam di lembaga pemasyarakatan dan sudah berkekuatan hukum tetap terbukti melakukan tindak pidana korupsi,” kata Kurnia.

Kurnia Ramadhana mengatakan jika banyak mantan koruptor mencalonkan diri lagi dan mendapat dukungan partai politik, menunjukkan sedang bermasalahnya demokrasi di Indonesia. Ini dikarenakan bukan tidak mungkin mereka mengulangi perbuatan korupsinya lagi di kemudian hari.

2004-2022, 310 Anggota DPR/DPRD Tersangkut Korupsi

Mengutip data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selama 2004 hingga tahun ini, terdapat 310 anggota DPR/DPRD tersangkut kasus korupsi. Ini peringkat kedua tertinggi setelah jumlah pelaku korupsi di sektor swasta yang mencapai 372 orang.

Menurut Nurul Amalia, peneliti di Perkumpulan Untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem), partai politik sebagai organisasi penghasil pemimpin seharusnya bisa menyediakan calon-calon yang memiliki komitmen dan visi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Ketika partai politik masih mencalonkan kader yang pernah melakukan korupsi, tambahnya, rakyat seharusnya mengecam keras hal ini karena menunjukkan tidak adanya niat membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Korupsi yang dilakukan kader partai politik mencerminkan integritas individu yang buruk.

“Jadi ketika partai mencalonkan mantan koruptor, kita perlu waspada. Jangan-jangan partai ikut pemilu, tapi nggak punya visi untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Kalau nggak punya tujuan ini, gawat juga. Karena tata kelola pemerintahan yang baik itu berhubungan dengan tujuan pemilu yang lain, yaitu meningkatkan partisipasi dan kontrol pemilih terhadap calon terpilih,” kata Nurul.

Menurutnya, undang-undang tentang pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah memang membolehkan mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri, dengan syarat mengumumkan secara terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipenjara karena kasus rasuah.

Namun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56 Tahun 2019 mengharuskan mantan narapidana kasus korupsi menunggu lima tahun sebelum bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Sejatinya, jeda lima tahun ini, kata Nurul, bisa berlaku untuk calon anggota legislatif diatur oleh peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).