Faktakalbar.id, KALIMANTAN BARAT – Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Kalimantan Barat pada tahun 2024 mencatatkan performa terbaiknya dalam lima tahun terakhir.
Angka IKG menyentuh level 0,493, turun tajam sebesar 0,026 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan ini mengindikasikan semakin kecilnya potensi pembangunan manusia yang hilang akibat ketidaksetaraan.
Namun, di balik grafik yang melandai ini, data statistik menyingkap realitas yang masih timpang.
Baca Juga: IPM Masih di Bawah Nasional, Ria Norsan Minta Dewan Pendidikan Jadi Katalisator Transformasi
Meski secara agregat membaik, perempuan di Kalimantan Barat masih menghadapi “tembok tebal” dalam akses ekonomi dan kesehatan reproduksi.
Paradoks Kesehatan Reproduksi: Angka Kelahiran Remaja Masih Tinggi
Salah satu sorotan paling tajam dari data tahun 2024 adalah indikator kesehatan reproduksi.
Meskipun persentase perempuan yang melahirkan di luar fasilitas kesehatan (MTF) berhasil ditekan hingga tersisa 19 persen, angka kelahiran pada usia remaja masih sangat mengkhawatirkan.
Data menunjukkan, indikator Proporsi Perempuan Pernah Kawin yang Melahirkan Hidup Pertama di Usia Kurang dari 20 Tahun (MHPK20) berada di angka 0,324 atau sekitar 32 persen.
Artinya, sepertiga perempuan usia 15-49 tahun di Kalbar melahirkan anak pertamanya saat mereka sendiri masih berusia belia (di bawah 20 tahun).
Penurunan indikator ini berjalan sangat lambat, kurang dari satu persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Stagnasi ini menjadi sinyal merah bahwa praktik pernikahan dini masih menjadi penghambat utama perempuan Kalbar untuk meraih pendidikan tinggi dan masuk ke pasar kerja yang layak.
Pasar Tenaga Kerja: Kesenjangan Menganga Lebar
Sektor ekonomi menjadi penyumbang ketimpangan terbesar.
Data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) memperlihatkan jurang pemisah yang masif antara laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 2024, TPAK laki-laki mencapai 86,05 persen, sementara perempuan hanya 53,95 persen.
Meskipun partisipasi kerja perempuan naik tipis 0,84 persen poin dari tahun 2023, selisih partisipasi yang mencapai lebih dari 30 persen mengindikasikan bahwa akses pasar kerja belum inklusif.
Beban ganda domestik dan budaya patriarki diduga masih menjadi faktor dominan yang menahan perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam ekonomi, terlepas dari fakta bahwa mereka memiliki potensi yang sama besarnya.
Pendidikan Perempuan Stagnan
Ironi lain terlihat pada dimensi pemberdayaan.
Kabar baik datang dari kursi legislatif, di mana keterwakilan perempuan meningkat menjadi 23,08 persen pada 2024, naik dari 18,46 persen pada tahun sebelumnya.
Namun, capaian pendidikan justru memberikan sinyal waspada. Persentase perempuan berpendidikan SMA ke atas cenderung stagnan di angka 30,77 persen sejak 2023.
Sebaliknya, laki-laki terus mengalami peningkatan yang stabil di angka 35,55 persen.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















