Suhendra memaparkan sebuah ironi, di mana PT Timah yang menguasai 80% wilayah IUP justru hanya mampu menghasilkan 20% dari total produksi timah.
Baca Juga: Hukum Dianggap Lemah, Praktik Tambang Ilegal Terus Subur dan Rugikan Negara
Sebaliknya, 80% produksi justru datang dari pihak lain yang beroperasi di wilayah yang lebih kecil.
“Tapi dalam konteks produksi yang terjadi itu berbalik, berbanding berbalik. Kami yang memiliki luasan wilayah IUP yang cukup luas 80%, tapi volume produksi kami hanya 20% dibandingkan dari pihak swasta yang ada,” kata Suhendra.
Ia menambahkan bahwa pemberantasan praktik ini bukanlah perkara mudah.
Diperlukan sebuah proses panjang yang melibatkan pendekatan komprehensif kepada masyarakat serta transformasi dalam model kemitraan yang ditawarkan oleh perusahaan.
Suhendra juga mengakui adanya kelemahan dari sisi pengawasan di masa lalu.
“Mungkin juga dari sisi pengawasan dan lain sebagainya saat dulu sampai mungkin hari ini agak sedikit lemah itu harus kami akui,” tambahnya.
Oleh karena itu, PT Timah mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi dan penegakan hukum guna menertibkan tata kelola pertambangan.
Baca Juga: Rugikan Negara Rp 300 Triliun, ESDM Bergerak Berantas 1.000 Tambang Ilegal
Tanpa dukungan penuh dari regulator, perusahaan merasa kesulitan untuk menjaga keberlangsungan produksi yang legal, terukur, dan berkelanjutan.
“Jika regulasi itu tidak berpihak, sulit bagi PT Timah untuk menjadi lead dalam proses mining‑nya, tin mining‑nya secara baik, terukur dan baik,” pungkasnya.
(*Red)
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















