OPINI – Di tengah semangat pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, indikator seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kerap dijadikan tolok ukur utama keberhasilan pembangunan.
Namun, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang disentuh: apakah pertumbuhan tersebut benar-benar membawa kita naik kelas dalam struktur ekonomi global, atau sekadar memperkuat ketergantungan lama pada ekspor komoditas mentah?
Paradigma yang ditawarkan oleh Ricardo Hausmann, ekonom Harvard dan pendiri Growth Lab, memberikan perspektif yang tajam.
Melalui teori Kompleksitas Ekonomi, ia menyatakan bahwa kekayaan suatu negara bukan ditentukan oleh sumber daya alamnya, tetapi oleh kemampuan untuk membuat produk yang kompleks dan sulit ditiru.
Dalam konteks Indonesia dan Kalimantan Barat secara khusus paradigma ini relevan untuk merumuskan ulang strategi transformasi ekonomi.
Tujuannya bukan sekadar mengejar angka PDRB, tetapi membangun kapabilitas daerah melalui komoditas lokal bernilai tambah tinggi, seperti madu hutan, tengkawang, kratom, kopi Liberika, dan karet.
Kutukan Komoditas: Kaya Bahan, Miskin Kemampuan
Sejak lama, struktur ekonomi Indonesia dikuasai oleh ekspor bahan mentah. Minyak sawit mentah, batu bara, karet, dan kayu log adalah komoditas dengan Product Complexity Index (PCI) rendah.
Produk-produk ini mudah diproduksi oleh banyak negara dan tidak membutuhkan kapabilitas teknologi atau inovasi yang tinggi.
Data dari Harvard Growth Lab (2024) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-84 dunia dengan nilai PCI -0,41, menandakan struktur ekspor nasional yang masih sangat sederhana.
Sebagai perbandingan, Korea Selatan mencatat skor 1,83 (peringkat ke-5), dan Vietnam yang baru memulai industrialisasi pada 1990-an kini melampaui Indonesia dengan skor positif 0,28 di peringkat ke-60 dunia.
PCI negatif mencerminkan kenyataan pahit: Indonesia, termasuk Kalbar, masih mendominasi pasar global dengan barang yang mudah dibuat dan bernilai tambah rendah.
Ironisnya, semakin kita mengekspor komoditas mentah, semakin kita terkunci dalam posisi marjinal di rantai nilai global.
Madu, Tengkawang, Kratom, Kopi: Komoditas Lokal, Peluang Global
Kalimantan Barat memiliki harta tersembunyi yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Jika dilihat dari kacamata Hausmann, komoditas seperti madu hutan, tengkawang, kratom, kopi Liberika, dan karet alam adalah “pohon-pohon produk” yang bisa membawa kita ke jantung ruang kompleksitas ekonomi global asal diolah secara benar.
- Pertama, madu hutan Kalimantan adalah produk multifungsi. Selain sebagai pangan, ia berpotensi dikembangkan menjadi kosmetik organik, bahan antioksidan alami, bahkan biofarmaka. Jika dikelola hingga tahap produk jadi seperti infused honey, suplemen, atau skincare, maka PCI-nya akan melonjak tajam dibanding madu curah.
- Kedua, tengkawang (Borneo Butter) yang selama ini hanya diekspor dalam bentuk mentega mentah, memiliki nilai jual tinggi jika masuk ke industri kosmetik, pelembap kulit, atau bahan pelumas ramah lingkungan.
- Ketiga, kratom (Mitragyna speciosa), meskipun kontroversial, telah menjadi penyumbang devisa ekspor lokal secara informal. Jika disertifikasi dan dilegalkan secara hati-hati, ia bisa naik kelas menjadi produk wellness seperti teh relaksasi, kapsul herbal, atau essential oil.
- Keempat, kopi Liberika Kalbar adalah warisan sejarah dan budaya yang unik. Daya saingnya rendah jika hanya dijual sebagai green bean. Namun sebagai produk specialty coffee, cold brew, atau kopi kapsul dengan identitas geografis yang kuat, ia bisa menembus pasar global
- Terakhir, karet alam, jika diarahkan ke produk turunan seperti komponen otomotif, sepatu premium, hingga alat kesehatan, bisa membawa Kalbar masuk ke industri intermediate dan hilir yang lebih kompleks dan tahan krisis.
RCA Rendah, Tapi Potensial
Jika kita menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) yaitu rasio keunggulan ekspor suatu negara dibanding dunia kita akan melihat gambaran serupa.
RCA Indonesia sangat tinggi pada produk mentah, namun pada produk bernilai tambah justru sangat rendah. Artinya, Indonesia belum benar-benar unggul dalam produk hilir karena volume ekspornya terlalu kecil dan belum konsisten.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id