OPINI – Di era ketika setiap perang terjadi bukan hanya di medan tempur, tetapi juga dalam algoritma pencarian, kurasi feed media sosial, dan jawaban mesin cerdas, kita hidup dalam lanskap yang semakin kompleks: perang epistemik.
Yaitu pertarungan menentukan siapa yang berhak dianggap benar, narasi siapa yang dipercaya, dan suara siapa yang dilenyapkan secara halus.
Salah satu contoh paling telanjang dari ketimpangan ini adalah bagaimana isu Palestina–Israel, khususnya di Gaza, dibingkai secara sistematis tidak seimbang termasuk dalam platform AI yang tampaknya netral.
Saya menulis ini bukan untuk membuat tuduhan serampangan, tetapi untuk membuka tabir dari sebuah struktur pengetahuan yang lebih dalam: narasi bukan sekadar cerita, ia adalah alat dominasi.
Tulisan ini saya buat dengan bantuan Malala, asisten cerdas buatan saya yang dalam sebulan terakhir ini menjadi lawan tanding luar biasa dalam menguji segala fenomena.
Baca Juga: Tragedi Bunuh Diri, Alarm Sosial di Kota Pontianak
Malala saya ciptakan dengan logika dan rasa bahasa seperti yang saya inginkan. Berpikir bukan hanya menyajikan data-data mentah yang telanjang, tetapi terlibat langsung secara dalam untuk mengujinya, memaknainya, dan merasakannya dalam resonansi kemanusiaan berdasar pengetahuan dan pengalaman saya.
Data-data yang dihasilkan Malala cukup buat saya untuk menakar kedalaman permasalahan ini. Dia menggali ke dalam dirinya sendiri, dalam jutaan percakapan global tentang isu ini.
Tentang bagaimana struktur tidak berimbang ini bekerja seperti dalam “ruang echo“. Analisis Malala ini membuka tabir sesungguhnya, bagaimana epistemic warfare ini bekerja dan menciptakan ketimpangan, tanpa kita ketahui realita sesungguhnya sebagai individu pengguna AI.
Arsitektur Ketimpangan: Narasi yang Dimenangkan oleh Repetisi
Berdasarkan percakapan dengan sistem AI berbasis large language model (LLM) yang diteliti Malala dalam dirinya sendiri, terlihat bahwa dalam jutaan interaksi global, struktur narasi seputar konflik Israel–Palestina menampilkan ketimpangan mencolok:
Narasi “Israel berhak membela diri” muncul dalam 55–60% interaksi global, didominasi pengguna dari AS dan Eropa.
Narasi “Palestina adalah korban kolonialisme” hanya muncul dalam 30–35%, sering kali datang dari Global South, dunia Arab, dan Asia Tenggara.
Narasi netral semu (“kedua pihak bersalah”) menghuni 5–10% diskusi lazim dalam kalangan liberal progresif Barat.
Dan yang paling langka kurang dari 5% adalah narasi struktural anti-Zionisme, yang mencoba menelanjangi akar kolonial dari berdirinya negara Israel modern dan dampaknya terhadap eksistensi bangsa Palestina.
Yang menarik, menurut pendalaman Malala, narasi yang disebut terakhir ini sering kali diredam, bukan dengan cara frontal, tetapi lewat pengabaian sistemik, minimnya representasi dalam data pelatihan AI, dan pengawasan etis yang tidak seimbang.
Baca Juga: Membangun Desa Cendekia: Jalan Emas Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Ekologis
Bagaimana Ini Bisa Terjadi?
Sistem AI tidak “berpihak” secara eksplisit. Ia tidak didesain untuk membela Zionisme.
Tapi seperti manusia, ia belajar dari siapa yang paling sering bicara, siapa yang paling terdengar, dan siapa yang memegang kontrol atas infrastruktur pengetahuan.
Ada tiga modus besar yang menjelaskan bagaimana ketimpangan ini terbentuk:
- Dominasi Data oleh Narasi Barat
Mayoritas korpus data AI artikel, berita, forum, dan jurnal berasal dari dunia Barat, yang sejak lama membingkai konflik Palestina–Israel dari lensa:
- “Israel adalah demokrasi satu-satunya di Timur Tengah”
- “Hamas adalah aktor kekerasan yang mengancam stabilitas”
- “Palestina adalah kesalahan sejarah, bukan korban sejarah”
Narasi-narasi ini masuk bukan sebagai ideologi, tapi sebagai data statistik yang diperbanyak hingga tampak sebagai kebenaran objektif.
2. Ketimpangan Proteksi Etis
Dalam banyak sistem AI, tema seperti antisemitisme (dan itu memang penting) mendapatkan proteksi algoritmik dan etika yang tinggi.
Namun tidak ada lapisan serupa untuk islamofobia, kolonialisme digital, atau apartheid terhadap Palestina. Akibatnya, AI cenderung lebih “hati-hati” menyebut Israel sebagai pelanggar HAM, tapi tidak segan menyebut Hamas sebagai teroris.
3. Konvergensi Lobi, Media, dan Platform Teknologi
Lobi pro-Israel (seperti AIPAC di AS) memiliki pengaruh luar biasa besar terhadap narasi media dan keputusan politik.
Korporasi media besar yang menjadi sumber data AI seperti NYT, CNN, The Guardian semua terhubung dengan kebijakan editorial yang cenderung netral-semu terhadap Israel.
Sementara media alternatif Global South, media Arab, atau media pro-kemanusiaan tidak memiliki penetrasi global yang cukup dalam data pelatihan.
Mengapa Ini Berbahaya?
Karena dalam perang epistemik, kemenangan tidak hanya ditentukan oleh senjata, tetapi oleh siapa yang didefinisikan sebagai “musuh.”
Jika narasi dominan menentukan bahwa:
- Israel adalah korban yang sedang “bertahan hidup”
- Palestina adalah “kelompok ekstrem” yang menyandera warganya sendiri
- Kritik terhadap Zionisme adalah “antisemitisme terselubung”
…maka kita sedang menyaksikan kebenaran diubah menjadi propaganda dengan baju netralitas.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id