Opini  

Menjaga Hutan Kalbar, Menjemput Insentif Iklim yang Adil dan Berkelanjutan

Gusti Hardiansyah, Ketua POKJA REDD+ Kalbar 2017–2022, penulis opini terkait insentif iklim dan tata kelola hutan Kalimantan Barat.
Gusti Hardiansyah, Ketua POKJA REDD+ Kalbar 2017–2022, penulis opini terkait insentif iklim dan tata kelola hutan Kalimantan Barat.

OPINI – Kalimantan Barat (Kalbar) adalah salah satu provinsi dengan tutupan hutan tropis basah terluas di Indonesia. Hutan gambut, mangrove, dan pegunungan yang masih relatif utuh menjadikan Kalbar sebagai penyangga ekosistem global, sekaligus penyumbang penting dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.

Baca Juga: Merawat Pancasila, Merawat Kalbar: Refleksi Pelantikan DPD IKAL Kalimantan Barat Masa Bakti 2025–2030

Namun, hingga kini, Kalbar belum sepenuhnya mendapat insentif yang sebanding dengan kontribusinya menjaga hutan. Padahal dunia telah membuka pintu melalui skema pembiayaan iklim, termasuk pembayaran berbasis hasil atau Result-Based Payment (RBP).

Saat ini, Kalbar mendapatkan kepercayaan dalam bentuk hibah dari Green Climate Fund (GCF) senilai lebih dari 62 juta Euro untuk periode 2025–2031.

Dana ini akan mendukung berbagai kegiatan mulai dari perhutanan sosial, penguatan kelembagaan iklim, hingga pertanian rendah emisi. Target mitigasinya tidak main-main: sekitar 11,79 juta ton CO₂ ekuivalen pengurangan emisi.

Namun, perlu ditegaskan bahwa berdasarkan kebijakan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021, hasil pengurangan emisi dari proyek hibah GCF akan diarahkan untuk RBP dalam kerangka kontribusi nasional Indonesia terhadap Paris Agreement (Nationally Determined Contribution/NDC), bukan untuk dijual melalui skema perdagangan karbon internasional.

Baca Juga: Fakultas Kehutanan Untan Gelar International Summer Course, Cetak Pelindung Mangrove dan Resmikan Nursery Hasil Kolaborasi Industri

Fokus pada Result-Based Payment (RBP)

Skema perdagangan karbon internasional memang memberi peluang menjual hasil penurunan emisi kepada negara lain. Namun, karena hibah GCF bersifat publik internasional dan ditujukan untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia, pemerintah pusat menetapkan bahwa hasil emisinya hanya bisa digunakan untuk pelaporan nasional.

Kebijakan ini masuk akal, karena Indonesia membutuhkan dukungan untuk memenuhi target ambisiusnya menurunkan emisi 31,89% secara mandiri, atau hingga 43,2% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 (KLHK, 2023). Oleh karena itu, hasil emisi dari proyek GCF Kalbar akan dilaporkan sebagai bagian dari kontribusi Indonesia, dan insentifnya akan disalurkan melalui mekanisme RBP.

Mekanisme RBP sangat penting karena memungkinkan pemerintah pusat, melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), untuk menyalurkan dana insentif kepada daerah dan masyarakat yang berhasil menunjukkan bukti penurunan emisi yang terukur, terverifikasi, dan transparan.

Agar Kalbar bisa memperoleh manfaat maksimal dari skema RBP, ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi:

  • Harus ada sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) di tingkat provinsi yang terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional (SRN) milik KLHK.
  • Perlu kelembagaan yang kuat dan sah secara hukum untuk mengelola data, menyusun laporan, dan memfasilitasi pelibatan semua pihak di daerah.
  • Harus ada skema pembagian manfaat (benefit sharing) yang adil dan transparan, agar masyarakat yang menjaga hutan tidak hanya jadi penonton, tapi juga penerima manfaat.

PBCC: Kunci Tata Kelola Iklim Daerah

Kabar baiknya, Kalbar sudah selangkah lebih maju. Provinsi ini telah memiliki PBCC (Provincial-Based Climate Center) atau Pusat Keunggulan Iklim Daerah, yang telah tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur sebagai bagian dari POKJA REDD+ Kalbar sejak 2017.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id

advertisements