Ada Banyak cerita tentang pemimpin besar di dunia. Napoleon Bonaparte dengan penaklukannya, Alexander Agung dengan ambisinya, dan bahkan Donald Trump dengan ucapannya yang sering membuat dahi berkerut. Tapi mari kita bicara tentang seorang pria yang kini membawa Nusantara ke era baru: Presiden Prabowo Subianto.
Setiap kali Prabowo berbicara, rasanya seperti waktu di negeri ini berhenti. Ketika ia mengucap satu kata, “Bongkar!” dampaknya langsung terasa. Bukan hanya pagar laut yang diguncang, tetapi juga logika dan nalar kita. Baru-baru ini, ia melontarkan mantra baru: “Hemat anggaran!” Seketika, anggaran belanja negara yang awalnya mencapai Rp 3.621,3 triliun menyusut menjadi Rp 306,69 triliun. Sebuah langkah yang seperti angin segar, namun juga menciptakan badai di kalangan kepala daerah dan pejabat pemerintahan.
Apa sebenarnya yang terjadi? Tidak ada yang tahu secara pasti. Tapi satu hal yang jelas: Prabowo telah menjadi simbol perubahan—baik itu perubahan yang ditunggu-tunggu atau yang membuat sebagian dari kita kebingungan.
Potret Kehidupan di Era “Hemat”
Di tengah gegap gempita langkah besar ini, saya berjumpa dengan seorang pejabat dari Kalimantan Barat di acara ICMI. Di sela-sela acara, ia berbagi cerita yang mencerminkan realitas tak terduga dari dunia birokrasi kita.
“Saya pernah diundang ke acara Kemendagri di Sulawesi Barat,” katanya dengan nada getir, seperti seorang penyair yang baru kehilangan puisi terakhirnya. “Acara itu hanya berlangsung sehari, tapi perjalanannya seperti kisah epik. Dari Pontianak ke Jakarta, Jakarta ke Makassar, lalu ke pelosok Sulawesi Barat. Semua hanya untuk menonton PowerPoint.”
Biaya perjalanan itu? Dua puluh juta rupiah! Ya, uang yang cukup untuk menghidupi satu kampung dengan nasi goreng selama sebulan. “Memang diganti,” lanjutnya, “tapi apakah ini masuk akal? Rasanya seperti menonton film yang tidak pernah selesai.”
Di sinilah kita bertanya: apakah ini pemborosan? Atau mungkin ada makna tersembunyi di balik semua itu? Mungkin Kemendagri ingin pejabat kita memahami arti perjuangan. Bahwa untuk menghadiri sebuah acara, mereka harus melewati ujian mental, fisik, dan finansial. Namun, hasilnya sering kali berakhir seperti buku yang hanya menjadi hiasan di rak tidak dibaca, apalagi diterapkan.