Meluruskan Salah Kaprah Tentang Makna Slow Living: Bukan Sekadar Bermalas-malasan

"Banyak yang mengira slow living berarti bermalas-malasan atau harus tinggal di desa. Artikel ini meluruskan salah kaprah makna slow living yang sebenarnya demi hidup yang lebih berkualitas."
Banyak yang mengira slow living berarti bermalas-malasan atau harus tinggal di desa. Artikel ini meluruskan salah kaprah makna slow living yang sebenarnya demi hidup yang lebih berkualitas. (Dok. Ist)

Faktakalbar.id, LIFESTYLE – Dalam beberapa tahun terakhir, istilah slow living semakin populer di media sosial.

Sering kali, konsep ini digambarkan dengan visual yang sangat estetik: secangkir kopi hangat di pagi hari, membaca buku di pinggir jendela, atau pondok kayu yang sunyi jauh dari hiruk-pikuk kota.

Visualisasi tersebut tidak salah, namun sayangnya sering memicu kesalahpahaman.

Banyak orang akhirnya merasa slow living adalah gaya hidup yang eksklusif, mahal, atau bahkan dianggap sebagai alasan untuk tidak produktif.

Baca Juga: Lelah dengan “Hustle Culture”? Ini 8 Alasan Terbaik Kenapa Harus Memilih Slow Living

Padahal, esensi dari gaya hidup ini jauh lebih dalam daripada sekadar estetika Instagram.

Agar tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru, mari kita bedah beberapa salah kaprah umum mengenai makna slow living.

1. Mitos: Slow Living Artinya Lambat dan Malas

Ini adalah miskonsepsi yang paling umum.

Kata “slow” sering diartikan secara harfiah sebagai bergerak lambat dalam segala hal, yang kemudian diasosiasikan dengan sifat malas atau kurang ambisi.

Faktanya: Slow living bukan tentang kecepatan fisik, melainkan tentang intensi dan kesadaran (mindfulness).

Konsep ini mengajak kita untuk melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat.

Ada kalanya kita harus bergerak cepat saat bekerja, namun kita juga tahu kapan harus berhenti sejenak untuk benar-benar menikmati momen, seperti saat makan bersama keluarga atau beristirahat.

Tujuannya adalah kualitas, bukan sekadar seberapa cepat kita menyelesaikan daftar tugas.

2. Mitos: Harus Menjadi Kaya atau Tinggal di Desa

Banyak yang beranggapan bahwa untuk bisa menerapkan slow living, seseorang harus mapan secara finansial, berhenti dari pekerjaan korporat, dan pindah ke desa untuk berkebun.

Faktanya: Slow living adalah soal pola pikir (mindset), bukan lokasi geografis atau saldo rekening.

Anda bisa tetap menjadi pekerja kantoran di tengah kota metropolitan yang sibuk dan tetap menerapkan nilai-nilai slow living.

Caranya bisa sesederhana tidak membuka email pekerjaan di akhir pekan, menikmati perjalanan pulang kerja tanpa terdistraksi ponsel, atau memasak makanan sendiri dengan penuh perhatian.

Ini tentang menciptakan ketenangan di tengah kekacauan, di mana pun Anda berada.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id