Opini  

Entitas Kekuasaan di Pemda Provinsi Kalbar: Relasi Etnisitas dalam Birokrasi yang Menguji Stabilitas Sosial

"Syarif-Usmulyadi-Opini-Politik"
Drs. Syarif Usmulyadi, M.Si., penulis esai opini tentang dinamika kekuasaan dan relasi etnisitas di birokrasi Pemprov Kalbar. Ia menganalisis bagaimana perseteruan elite menguji stabilitas sosial melalui lensa sosiologi politik. (Dok. HO/Faktakalbar.id)

OPINI – Perseteruan antara gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Barat dalam beberapa bulan terakhir bukan sekadar pertikaian personal atau perbedaan preferensi kebijakan. Di balik itu, terdapat denyut lama yang selalu samar namun sesekali muncul ke permukaan: bagaimana etnisitas bekerja sebagai “mata uang sosial” dan “modal politik” dalam birokrasi pemerintahan daerah.

Sebagai wilayah dengan sejarah panjang hubungan antarkelompok Dayak, Melayu, Tionghoa, dan komunitas pendatang lainnya relasi kuasa di Kalbar tidak pernah benar-benar steril dari simbol, identitas, dan persepsi kolektif yang melekat pada masing-masing entitas etnis.

Dalam kerangka sosiologi politik, konflik elite seperti yang terjadi di pucuk pimpinan Pemerintah Provinsi Kalbar hari ini tidak berdiri sendiri.

Ia berada dalam sebuah lanskap kultural dan struktural yang terbentuk lama: pola rekrutmen birokrasi, alokasi posisi strategis, serta cara elite menggunakan identitas sebagai instrumen legitimasi maupun mobilisasi.

Baca Juga: Ekonomi Kerakyatan dari Desa: Arsitektur Baru Pangan Indonesia

Etnisitas sebagai Modal Politik

Sosiologi politik kontemporer menegaskan bahwa etnisitas bukan sekadar atribut biologis atau kultural, melainkan modal sosial yang dapat dikapitalisasi dalam kompetisi kekuasaan. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai bagian dari symbolic capital: sesuatu yang bernilai karena diakui oleh kolektif.

Dalam konteks Kalbar, identitas Dayak dan Melayu menjadi dua kutub simbolik yang sering diposisikan sebagai representasi politik masing-masing kelompok.

Walaupun reformasi birokrasi selalu menggaungkan meritokrasi, realitas lokal kadang bergerak dalam logika lain: logika representasi. Ada kehendak kolektif agar “ada orang kita di sana”.

Ketika elite tertentu naik dan dianggap mewakili satu kelompok etnis, maka ekspektasi simbolik itu ikut menempel. Begitu pula ketika terjadi ketegangan politik di level puncak: publik sering membacanya bukan sebagai konflik kebijakan, melainkan konflik identitas.

Baca Juga: Renungan Ekologis-Sosial

Birokrasi sebagai Ruang Perebutan Representasi

Secara formal, birokrasi harus bebas dari kepentingan identitas. Namun dalam realitas sosiologisnya, birokrasi daerah sering menjadi arena reproduksi kekuasaan etnis.

Bukan berarti birokrasi dikelola berdasarkan garis etnis secara eksplisit, tetapi preferensi dan jaringan sosial elite kerap menentukan siapa menduduki jabatan strategis.

Dalam situasi Kalbar saat ini, retaknya hubungan gubernur dan wakil gubernur memiliki potensi memunculkan tandingan politik berbasis persepsi etnis.

Ketika kedua figur itu diasosiasikan (secara kultural maupun historis) dengan kelompok etnis tertentu, maka konflik mereka dapat dibaca publik sebagai “pertentangan dua representasi simbolik”. Inilah titik rawan yang perlu diantisipasi.

Sosiologi politik mengajarkan bahwa konflik elite akan naik kelas menjadi konflik horizontal jika dua syarat muncul secara bersamaan:

  1. Elite menggunakan simbol identitas untuk memperkuat dukungan.
  2. Publik menginternalisasi konflik elite sebagai konflik kolektif.

Kita mungkin belum sampai pada titik itu. Namun dinamika percakapan publik di media sosial menunjukkan mulai adanya pengelompokan narasi berdasarkan identitas, ini alarm awal.

Baca Juga: Pasca-Praperadilan, Proses Hukum Kasus PDAM Kubu Raya Menyeret Nama Muda Mahendrawan dan Uray Dinilai Jalan di Tempat

Mengapa Kalbar Rentan?

Pontianak sebagai ibu kota provinsi bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga titik temu berbagai kelompok etnis. Sejarah konflik komunal di masa lalu meninggalkan jejak psikologis yang tidak mudah hilang.

Relasi antarkelompok selama dua dekade terakhir relatif stabil, namun stabilitas itu bukan tanpa syarat ; ia membutuhkan jaringan pengaman dari elite politik dan birokrasi. Ketika elite kompak, publik condong pada kohesi. Ketika elite retak, publik cepat menyerap implikasinya.

Dalam analisis sosiologi politik, fenomena ini disebut elite cueing: publik membaca sinyal dari elite untuk menentukan sikap. Karena itu, perseteruan di puncak pemerintahan bisa menjadi pintu masuk bagi mobilisasi identitas jika tidak dikelola dengan bijak.

Selain itu, birokrasi Kalbar masih mengandung “bias historis”: jaringan relasi yang terbentuk dari ikatan etnis, organisasi kekerabatan, asosiasi keagamaan, serta struktur informal lain yang sering memengaruhi preferensi kebijakan maupun dinamika internal. Relasi-relasi ini tidak salah, tetapi bisa menjadi titik gesekan ketika pertarungan elite melebar.

Baca Juga: Hari Libur, Sutramidji Pilih ke Sambas Salurkan 2000 Paket Bantuan Banjir

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id