Faktaktakalbar.id, KALIMANTAN BARAT – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru kondisi kemiskinan di Kalimantan Barat per Maret 2025.
Pada grafik, jumlah penduduk miskin memang tercatat menurun.
Namun, bedah data lebih dalam menunjukkan realitas ekonomi yang masih rapuh: garis kemiskinan yang terus mendaki, tingginya ketergantungan pada komoditas pangan, serta melebarnya jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat pada Maret 2025 tercatat sebanyak 330,95 ribu orang.
Angka ini berkurang sekitar 3,04 ribu orang dibandingkan kondisi September 2024.
Secara persentase, tingkat kemiskinan turun tipis 0,09 persen poin menjadi 6,16 persen.
Meski tren jumlah penduduk miskin menurun, “biaya” untuk tidak disebut miskin justru semakin mahal.
Garis Kemiskinan (GK) per Maret 2025 naik sebesar 1,89 persen menjadi Rp622.882 per kapita per bulan.
Artinya, setiap individu di Kalbar harus memiliki pengeluaran di atas nominal tersebut agar tidak dikategorikan miskin.
Rentan Guncangan Pangan dan Rokok
Struktur pengeluaran penduduk miskin di Kalimantan Barat memperlihatkan tingkat kerentanan yang tinggi.
Sebanyak 75,21 persen dari Garis Kemiskinan disumbangkan oleh kelompok makanan.
Hanya 24,79 persen yang dialokasikan untuk kebutuhan bukan makanan seperti perumahan, bensin, dan pendidikan.
Dominasi pengeluaran makanan ini menjadi sinyal bahaya.
Jika terjadi gejolak harga pangan sedikit saja, penduduk yang berada di garis batas rentan jatuh kembali ke lubang kemiskinan.
Data merinci dua “tersangka” utama yang menguras kantong penduduk miskin:
- Beras: Menyumbang 19,67 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan angka yang lebih masif, 26,22 persen, di perdesaan.
- Rokok Kretek Filter: Ironisnya, rokok menjadi komoditas penyumbang kemiskinan terbesar kedua setelah beras. Rokok menggerus 13,01 persen pengeluaran warga miskin kota dan 13,11 persen warga miskin desa.
Besarnya alokasi untuk rokok ini bahkan jauh melampaui pengeluaran untuk protein hewani seperti daging ayam ras (5,93 persen di kota) atau telur ayam ras (5,18 persen di kota).
Hal ini mengindikasikan adanya prioritas konsumsi yang kurang sehat di tengah keterbatasan ekonomi.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















