Bagi mereka yang memiliki kecemasan sosial, telepon adalah mimpi buruk.
Komunikasi via suara menuntut respons real-time.
Anda tidak punya waktu untuk mengedit kalimat atau berpikir panjang seperti saat membalas chat.
Tekanan untuk harus terdengar ramah, sigap, dan memberikan jawaban cerdas secara spontan ini sangat menguras energi mental, membuat otak merasa terbebani sebelum percakapan dimulai.
4. Hilangnya Kontrol atas Waktu Sendiri
Dering telepon sering kali dirasakan sebagai pelanggaran privasi.
Suara itu seolah berkata, “Tinggalkan apa yang kamu lakukan, perhatikan aku sekarang!” Perasaan kehilangan otonomi atau kendali atas waktu sendiri ini memicu resistensi mental.
Otak kita membenci perasaan dikontrol oleh orang lain (atau dalam hal ini, oleh benda mati), sehingga timbul rasa benci terhadap suara notifikasi tersebut.
5. Ketidakpastian yang Memicu Kewaspadaan Berlebih
Di era modern, panggilan telepon sering kali berarti dua hal ekstrem: keadaan darurat yang genting atau penipuan/spam yang mengganggu.
Ketidakpastian ini membuat otak bekerja keras menebak-nebak skenario terburuk (catastrophizing).
“Apakah ada kecelakaan?” atau “Apakah ini debt collector?”.
Ketegangan akibat ketidakpastian inilah yang perlahan menumpuk menjadi kecemasan kronis.
Merasakan cemas saat telepon berbunyi adalah hal yang valid di era serba terhubung ini.
Untuk menjaga kewarasan, jangan ragu untuk menetapkan batasan.
Mengaktifkan mode “Jangan Ganggu” bukanlah tindakan egois, melainkan langkah kecil untuk mengistirahatkan otak Anda dari kewaspadaan yang terus-menerus.
Baca Juga: Anti Penuh! Cara Matikan Auto Download WhatsApp di Android, Solusi Memori HP Cepat Habis
(*Mira)
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















