Opini  

Kopi Gambut Kubu Padi: Alternatif Sawit yang Bikin Desa Mandiri

Ir. Iswan Dewantara, M.MA., IPU Dosen Kehutanan UNTAN memberikan penyuluhan tentang budidaya kopi gambut kepada warga Desa Kubu Padi sebagai alternatif sawit. (Dok. Faktakalbar.id)
Ir. Iswan Dewantara, M.MA., IPU Dosen Kehutanan UNTAN memberikan penyuluhan tentang budidaya kopi gambut kepada warga Desa Kubu Padi sebagai alternatif sawit. (Dok. Faktakalbar.id)

Berbeda dengan sawit yang kerap mempercepat degradasi, kopi justru membantu menjaga kelembaban, menahan lapisan tanah, dan tidak merusak ekosistem gambut.

Seorang pemuda desa dari perwakilan Karang Taruna mengatakan, “Kalau kopi bisa tumbuh subur di gambut, ini peluang besar buat kami. Anak muda tidak perlu selalu ke kota cari kerja. Kita bisa mengurus kebun kopi, bahkan mengolahnya jadi produk.”

Kopi gambut memberi nilai lebih, selain hasil panen biji, tanaman ini juga berfungsi menjaga ekosistem. Kehadirannya menjadi jalan tengah, bahwa warga tetap mendapat penghasilan, sementara gambut tidak rusak seperti pada pola monokultur sawit.

Bagi emak-emak desa, agroforestri bukan istilah teknis, melainkan kenyataan sehari-hari. Mereka melihat kopi, buah, dan tanaman kayu bukan hanya soal pasar, tapi juga soal dapur dan anak cucu.

“Kalau ada kopi, sebagian bisa dijual, sebagian lagi bisa diseduh di rumah. Anak-anak juga belajar kalau menanam itu penting. Jadi bukan cuma makan buah, tapi juga minum kopi dari kebun sendiri,” ujar seorang ibu sambil tertawa.

Dalam obrolan ringan muncul celetukan, “Tengkulak sekarang beli kopi kering kupas Rp60 ribu per kilo. Kalau kita bisa panen banyak, lumayan buat tambahan biaya sekolah anak.”

Celetukan itu menjadi bukti bahwa masyarakat langsung menghubungkan ilmu penyuluhan dengan realitas ekonomi sehari-hari.

Ketua BPD Desa Kubu Padi menyampaikan perspektif yang lebih luas.

“Kopi memang peluang besar. Tapi jangan berhenti di biji kering. Kalau ada bantuan, kami ingin belajar mengolah kopi jadi bubuk kemasan, kopi sachet instan, yang siap seduh. Kalau ada alat pengolah, desa kita bisa punya produk unggulan.”

Pernyataan ini menggarisbawahi kebutuhan penting berupa hilirisasi produk. Agroforestri akan semakin berdampak jika hasil kebun tidak hanya dijual mentah, tetapi juga diolah menjadi produk bernilai tambah.

Dengan begitu, masyarakat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada tengkulak.

Dari penyuluhan PKM di Kubu Padi, setidaknya ada tiga manfaat yang dirasakan masyarakat, diantaranya, (1) Menambah wawasan masyarakat, yang sebelumnya hanya tahu menanam satu jenis tanaman kini mengenal konsep agroforestri. Mereka sadar bahwa keberagaman tanaman bisa menurunkan risiko gagal panen dan meningkatkan pendapatan; (2) Menjaga lingkungan dengan agroforestri, lahan gambut tidak dibiarkan kosong atau ditanami monokultur semata. Kehadiran kopi, pohon kayu, dan tanaman buah mampu memperkuat fungsi ekologis, mengurangi kebakaran/Karhutla, dan melindungi air; (3) Peduli generasi anak cucu, bahwa semua pihak, dari emak-emak hingga pemuda dan BPD, menyebut kata “anak cucu”.

Mereka sadar, menanam hari ini bukan hanya untuk besok, tetapi untuk masa depan generasi.

Agroforestri bukan sekadar cara menanam, melainkan cara berpikir tentang lahan. Dengan sistem ini, desa tidak perlu memilih antara ekonomi dan ekologi.

Keduanya bisa berjalan beriringan. Pemuda desa melihatnya sebagai peluang kerja baru, emak-emak melihatnya sebagai tabungan keluarga, dan BPD melihatnya sebagai agenda pembangunan desa. Semua suara itu menunjukkan bahwa agroforestri mampu diterima dari berbagai sudut pandang jalan tengah yang bijak.

Penyuluhan hanyalah awal. Agar agroforestri benar-benar menjadi gerakan desa, ada beberapa langkah penting ke depan, yaitu (1) Kelompok agroforestri desa dibentuk untuk mempraktikkan langsung sistem kebun campuran, termasuk kopi gambut; (2) Kebun kopi percontohan sebagai laboratorium lapangan yang bisa ditiru warga lain; (3) Hilirisasi produk kopi desa perlu dukungan berupa pelatihan pengolahan kopi, dari biji kering menjadi bubuk kemasan dan kopi instan sachet; (4) Alat pengolah sederhana dengan bantuan mesin pengupas, penggiling, hingga pengemas menjadi kebutuhan mendesak.

Jika langkah ini dijalankan, Desa Kubu Padi bisa melahirkan produk khas bernama “Kopi Gambut Kubu Padi” yang tidak hanya dikenal di pasar lokal, tetapi juga berpeluang menembus pasar nasional.

Akhirnya refleksi dari berbagai suara yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, bahwa emak-emak menginginkan anak-anak tetap bisa menikmati buah dan kopi dari kebun sendiri.

Pemuda ingin tetap tinggal di desa dengan pekerjaan bermartabat. Ketua BPD berharap ada dukungan agar kopi bisa diolah menjadi produk unggulan. Semua suara ini berpadu menjadi satu tujuan desa yang sejahtera sekaligus menjaga hutan.

Pengenalan agroforestri di Desa Kubu Padi telah menyalakan harapan baru. Warga kini tahu bahwa kopi robusta dan liberika bisa tumbuh di gambut, tengkulak sudah membuka pasar dengan harga Rp60 ribu per kilogram, dan peluang hilirisasi terbentang luas.

Agroforestri memberi mereka pilihan yang lebih baik, tidak melulu sawit, tetapi kopi gambut sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem.

Seperti kata Ketua BPD di akhir acara, “Kami ingin desa ini punya kopi sendiri, dari kebun sampai ke cangkir. Kopi bubuk kemasan made in Kubu Padi yang bisa dibanggakan di setiap seduhan dan seruputan peminumnya.” Harapan itu kini sedang disemai.

Dari agroforestri, dari kopi gambut, dari tangan-tangan sederhana masyarakat desa.

Oleh: Iswan Dewantara

*Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Isi, pandangan, dan substansi di dalamnya bukan merupakan tanggung jawab atau sikap resmi redaksi Faktakalbar.id.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id