Faktakalbar.id, PONTIANAK – Universitas Tanjungpura melalui Fakultas Kehutanan bersama Jaringan Tengkawang Kalimantan menggelar Festival Tengkawang VII Rabu 27 s.d. 28 Agustus 2025 di Gedung Konferensi Untan, Pontianak.
Mengangkat tema #ForUsForEarth, kegiatan ini tidak hanya menyoroti potensi tengkawang tungkul (Rubroshorea macrophylla) sebagai komoditas unggulan Kalimantan Barat, tetapi juga menekankan ancaman alih fungsi lahan yang terus terjadi di wilayah tersebut.
Tengkawang dan Identitas Kalbar
Tengkawang tungkul merupakan jenis meranti-merantian anggota famili Dipterocarpaceae yang sejak lama dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pangan, obat tradisional, hingga bahan baku kosmetik dan farmasi.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat bahkan telah menetapkannya sebagai “maskot provinsi” sekaligus komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan melalui Peraturan Gubernur Kalbar Nomor 33 Tahun 2022.
Baca Juga: Jelang Monitoring Konservasi, PT Mayawana Persada Pastikan Kesehatan Tim Untan
Namun, keberadaan pohon tengkawang tungkul semakin terancam akibat berkurangnya hutan alam Kalimantan. Bagi masyarakat adat, tengkawang tungkul tidak hanya bernilai ekonomi, melainkan juga bagian dari identitas budaya dan kedaulatan hutan.
Angka Deforestasi: Data Beda, Fakta Sama
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat deforestasi netto nasional tahun 2024 sebesar 175,4 ribu hektar, dengan mayoritas terjadi di dalam kawasan hutan. Namun, data organisasi independen menunjukkan kondisi berbeda di Kalimantan Barat.
Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat deforestasi di Kalbar mencapai 35.162 hektar pada 2023 dan meningkat menjadi 39.598 hektar pada 2024, menjadikannya salah satu provinsi dengan kehilangan hutan tertinggi. Kabupaten Ketapang, Kapuas Hulu, dan Sanggau menjadi kantong terbesar.
Global Forest Watch (GFW) melaporkan kehilangan hutan alam di Kalbar pada 2024 sekitar 30,8 ribu hektar.
Perbedaan angka ini terjadi karena definisi dan metode penghitungan yang berbeda. KLHK menghitung deforestasi netto (mengurangi reforestasi atau revegetasi), sementara FWI fokus pada kehilangan hutan alam, dan GFW menggunakan indikator tree cover loss berbasis satelit.
Meski berbeda metodologi, ketiga sumber data tersebut sama-sama menunjukkan bahwa Kalbar masih menghadapi tekanan deforestasi dan alih fungsi lahan yang serius.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















