Pemerintah berupaya mengurangi dampak kebijakan ini dengan memberikan sejumlah insentif, termasuk Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk komoditas pokok seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri. Selain itu, insentif khusus diberikan pada sektor kendaraan listrik dan hybrid melalui pembebasan PPN hingga 0% untuk kendaraan tertentu.
Di sisi lain, kebijakan insentif bagi barang-barang mewah seperti kendaraan listrik menuai protes. Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), menyebutkan bahwa insentif ini lebih menguntungkan masyarakat kelas atas yang mendominasi pasar kendaraan listrik. Ekonom Bright Institute menilai langkah ini kontradiktif di tengah kenaikan PPN pada kebutuhan pokok.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah merumuskan peraturan turunan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Aturan ini akan memuat daftar barang dan jasa yang dikenakan PPN 12% serta teknis pelaksanaannya. “Kami akan memastikan kebijakan ini berjalan dengan tepat untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Yustinus Prastowo, mantan staf khusus Menteri Keuangan, menyarankan agar pemerintah cermat dalam menentukan kategori barang dan jasa yang dikenakan PPN 12%. “Isu keadilan harus menjadi prioritas utama,” tegasnya.
Meski menuai pro dan kontra, kebijakan ini tetap menjadi langkah mutlak yang dipilih di bulan kedua pemerintahan peabowo dalam meningkatkan penerimaan negara demi merealisasikan program prioritasnya. Sebagai masyarakat, kesiapan dalam menghadapi kebijakan ini menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan ekonomi rumah tangga.