JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah mengumumkan kebijakan baru mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2025.
Kebijakan ini mencakup barang-barang dan jasa premium yang sebelumnya tidak dikenakan pajak, seperti beras premium, sabun, hingga bahan makanan lainnya yang dikategorikan mewah. Kebijakan ini dinilai akan memberikan dampak besar terhadap daya beli masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah ke bawah.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, penerapan PPN sebesar 12% ini merupakan upaya pemerintah untuk menjalankan prinsip keadilan dan gotong royong dalam sistem perpajakan. Barang dan jasa yang akan dikenakan pajak di antaranya adalah layanan rumah sakit kelas VIP, pendidikan bertaraf internasional, hingga tarif listrik dengan daya terpasang tinggi. Untuk kategori bahan pangan, kebijakan ini meliputi beras premium, salmon, tuna, hingga buah-buahan impor tertentu.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama para ekonom yang menilai bahwa penerapan PPN pada bahan pokok premium akan membebani masyarakat kelas menengah ke bawah.
Muhammad Andri Perdana, ekonom dari Bright Institute, menjelaskan bahwa konsumen dari kelas ini seringkali terpaksa membeli bahan pangan berlabel premium karena keterbatasan ketersediaan barang non-premium di daerah tertentu. Ia menambahkan, “Dampaknya akan signifikan terhadap daya beli, terutama mereka yang sudah terbiasa mengonsumsi barang-barang tersebut.”
Pusat Studi Ekonomi Nasional (Susenas) memperkirakan bahwa kebijakan PPN ini akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga miskin hingga Rp1,8 juta per tahun. Celios, lembaga riset ekonomi, menyebutkan bahwa dampak kebijakan ini juga akan memengaruhi barang non-premium akibat pergeseran permintaan. “Barang non-premium juga akan mengalami kenaikan harga karena perubahan pola konsumsi,” ujar Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios.