Kalah Unggul, Ini Alasan Eropa Serang Minyak Sawit RI

Kelapa Sawit dan produk minyak nabati sawit (foto:int)

“Sawit kan paling ekonomis karena produktivitas lebih tinggi dari yang lain,” ujarnya. Sebagai contoh, paparnya, saat ini tanaman sawit rata-rata produksinya bisa menghasilkan 4 ton per hektare per tahun. Sementara tanaman penghasil minyak nabati lainnya (rapeseed) hanya bisa menghasilkan 900 kilogram per hektare per tahun.

“Contoh sawit rata-rata saat ini bisa menghasilkan 4 ton per hektare per tahun, sementara minyak lain rapeseed hanya bisa 900 kg per hektare per tahun, minyak yang lain di bawah itu semua,” jelasnya.

Maka dari itu, harga dari minyak goreng sawit bisa lebih murah jika dibandingkan minyak nabati lainnya. Di mana tanah yang dipakai pun 1 berbanding 10 lebih kecil dari kedelai.”Penggunaan lahan sawit jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lain. Mereka kalah bersaing karena minyak sawit lebih ekonomis,” imbuhnya.

Sementara itu Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Achmad Maulizal Sutawijaya menambahkan, saat ini produktivitas dari minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati masih belum bisa tergantikan oleh minyak nabati dari jenis tanaman lainnya, seperti minyak bunga matahari, minyak kedelai, hingga minyak jagung.

“Saat ini produktivitas sawit sebagai minyak nabati belum bisa digantikan oleh minyak nabati dari jenis tanaman lain. Termasuk rapeseed, soybean, bunga matahari dan lainya yang merupakan produk unggulan petani Eropa,” ujarnya.

Achmad menjelaskan bahwa ketahanan pangan merupakan isu global saat ini, di mana Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organisation atau FAO) melaporkan lebih dari 815 juta orang mengalami kekurangan gizi kronis.

Achmad mengklaim, minyak kelapa sawit sebagai komoditas yang memiliki tujuan pembangunan berkelanjutan PBB (SDGs) telah memainkan peran penting dalam menyediakan sumber pangan dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Dan itu akan terus berperan penting dalam menghadapi tantangan ini (isu ketahanan pangan global),” kata Achmad. Hal itu juga yang mendasari Uni Eropa (UE), lanjutnya, kebakaran jenggot hingga menerbitkan Undang Undang (UU) Deforestasi untuk menjaga pasar produknya, utamanya produk minyak nabati milik Eropa.

Untuk itu, Achmad berharap Indonesia dapat lebih giat dan intens dalam melakukan promosi sosialisasi dan advokasi sawit di dalam maupun di luar negeri.

“Untuk menjaga pasar produknya, Eropa melakukan langkah-langkah yang terlihat menyerang Kelapa Sawit. Padahal ini intinya adalah persaingan dagang semata,” tukasnya.(rfk/ind)