Sebelumnya, Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey meminta maaf dan memperingatkan dalam waktu dekat akan terjadi kesulitan memperoleh minyak goreng di Tanah Air. Menurutnya, hal itu sebagai bentuk protes peritel modern karena pemerintah masih menunggak pembayaran utang rafaksi minyak goreng kepada Aprindo sebesar Rp 344 miliar.
Setidaknya, ujar dia, ada 31 korporasi atau perusahaan anggota Aprindo yang masih belum mendapat pembayaran pemerintah.
Polemik ini berawal dari gonta-ganti kebijakan pemerintah menyusul lonjakan harga minyak goreng sejak akhir tahun 2021 lalu.
Salah satunya, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 3/2022 yang mengatur soal program minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter, dengan mengandalkan subsidi dari pemerintah. Subsidi itu diambil dari dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun, tak lama berselang, pemerintah mencabut Permendag No 3/2022 dan program itu dihentikan.
“Mengenai pertimbangan pencabutan Permendag No 3/2022 pada saat itu adalah dikarenakan kebijakan penggantian selisih harga ini ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Minyak goreng masih langka baik di pasar tradisional maupun di ritel modern, dan sehingga diperlukan kebijakan lain yang lebih baik, yaitu DMO (domestic market obligation/ wajib pemenuhan domestik) minyak goreng. Dan, terbukti setelah kebijakan ini diterapkan, minyak goreng mulai tersedia di pasar tradisional dan ritel modern,” pungkasnya.(rfk/ind)