Wabah PMK Merebak, Asosiasi Peternak: Pemerintah Longgarkan Impor Sapi

Sapi Impor (Ilustrasi) Lst

JAKARTA –  Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) kembali merebak di berbagai daerah di Indonesia. Asosiasi peternak menuding kebijakan pemerintah yang melonggarkan impor sapi sejak 2016 sebagai pemicu utama merebaknya kembali penyakit yang berdampak besar pada industri peternakan nasional ini.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, menilai bahwa kelalaian pemerintah dalam mengontrol kebijakan impor telah membuka celah bagi virus PMK untuk kembali menginfeksi ternak dalam negeri.

“PMK bisa muncul kembali karena virusnya memang sulit diberantas. Tapi yang paling penting, ini bisa terjadi karena kita lalai. Seharusnya ada sistem kesehatan hewan yang lebih ketat,” ujar Rochadi, yang juga akademisi dari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (Unpad), Sabtu (11/1).

Dampak Relaksasi Impor Sapi
Rochadi menjelaskan bahwa pemerintah pertama kali melonggarkan impor sapi melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 menjadi UU Nomor 18 Tahun 2009. Perubahan ini mengubah sistem impor yang awalnya berbasis negara bebas PMK menjadi berbasis zona. Artinya, Indonesia bisa mengimpor sapi dari daerah tertentu dalam suatu negara, meskipun wilayah lainnya masih terjangkit PMK.

Kebijakan ini mendapat penolakan keras dari asosiasi peternak yang khawatir akan risiko penyebaran penyakit. Peternak pun menggugat kebijakan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 dan berhasil menang dengan alasan Indonesia belum memiliki sistem kesehatan hewan nasional yang kuat.

Namun, menurut Rochadi, pemerintah tetap bersikeras melanjutkan kebijakan impor sapi dengan merevisi UU Nomor 41 Tahun 2014, yang mempermudah impor sapi dari India. Kali ini, judicial review yang diajukan peternak ditolak.

Puncaknya terjadi pada 2016, ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2016 yang secara resmi mengizinkan impor sapi dari zona bebas PMK, meskipun negara asalnya masih memiliki kasus PMK di wilayah lain. Gugatan yang diajukan ke Mahkamah Agung juga tidak membuahkan hasil bagi para peternak.

“Kami sudah kalah dua kali. Setelah itu, ya sudah, kami hanya bisa pasrah. Dan sekarang lihat sendiri dampaknya, siapa yang mau bertanggung jawab?” kata Rochadi.