Faktakalbar.id, NASIONAL – Kibaran bendera putih kini menghiasi sepanjang jalan nasional Banda Aceh–Medan hingga pelosok Aceh Timur.
Bukan sebagai tanda perdamaian, kain putih itu adalah simbol “menyerah” dan jeritan putus asa warga terhadap absennya negara setelah 19 hari dikepung bencana banjir yang melumpuhkan sebagian besar wilayah Sumatera.
Hingga Senin (15/12/2025), penanganan bencana oleh pemerintah pusat dinilai berjalan sangat lamban dan tidak terkoordinasi.
Ribuan warga di Aceh Tamiang, Aceh Timur, hingga Aceh Utara masih terisolir tanpa pasokan logistik yang memadai, listrik yang padam, hingga kelangkaan bahan bakar yang parah.
Baca Juga: Tembus Wilayah Terisolir, BNPB Maksimalkan Jalur Udara dan Darat Salurkan Bantuan Logistik di Sumut
“Masyarakat di sini sudah tidak sanggup. Bendera putih ini tanda kami menyerah oleh keadaan,” ungkap Zamzami, salah satu warga terdampak.
Dapur umum swadaya yang didirikan warga kini mulai berhenti mengepul karena stok bahan makanan telah habis, memicu ancaman kelaparan massal.
Negara Dinilai ‘Ada dan Tiada’
Kritik tajam datang dari Juru Bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman.
Mantan Sekretaris BRR Aceh-Nias ini menyebut kehadiran negara dalam bencana kali ini nyaris tidak dirasakan oleh korban.
Ia membandingkan respons saat ini dengan penanganan Tsunami 2004 yang jauh lebih masif.
“Negara seperti ada dan tiada untuk Aceh. Tidak tampak pengerahan komponen cadangan negara secara masif untuk pencarian dan penyelamatan korban,” tegasnya.
Fakta di lapangan menunjukkan kegagalan manajemen krisis: PLN dinilai hanya bekerja prosedural tanpa solusi darurat (genset), Pertamina baru menyalurkan BBM di hari ke-10, dan tidak adanya jembatan udara logistik untuk menembus wilayah terisolir.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















