Opini  

“Shadow of Power”: Konflik Elite Kalbar, Balas Dendam, dan Mendesaknya Rekonsiliasi Pontianak

"syarif-usmulyadi-politik-opini"
Penulis, Drs. Syarif Usmulyadi, M.Si., saat menuliskan pandangannya mengenai konflik elite di Kalimantan Barat. (Dok. HO/Faktakalbar.id)

OPINI – Ibu kota Kalimantan Barat (Kalbar), Pontianak , kembali menjadi panggung drama politik yang penuh intrik. Kota warisan Kesultanan Kadriah, yang dikenal akan pluralitas dan kerukunannya, belakangan ramai diperbincangkan karena kisruh pelantikan pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalbar.

Prosesi birokrasi yang seharusnya rutin ini berubah menjadi polemik elite yang memercikkan panas. Di baliknya, tersimpan drama lama: rivalitas personal, trauma politik, tuduhan “balas dendam”, hingga bayang-bayang karma kekuasaan yang kembali menghampiri.

Kisruh bermula ketika proses job fit pejabat eselon II yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalbar memicu silang pendapat di lingkaran elite.

Pelantikan yang mestinya tinggal meneguhkan rekomendasi hasil evaluasi mendadak dipersoalkan. Ada pihak yang merasa dilangkahi, ada yang menganggap prosesnya kurang transparan, sementara yang lain menilai keputusan tertentu terlalu dipengaruhi faktor politik.

Baca Juga: Ekonomi Kerakyatan dari Desa: Arsitektur Baru Pangan Indonesia

Siklus “Karma Politik” yang Berulang

Di balik perselisihan administratif ini, publik segera mengaitkan peristiwa tersebut dengan ketegangan lama antara tokoh-tokoh yang pernah dan masih punya pengaruh besar di panggung politik Kalbar. Nama-nama tersebut saling bersinggungan sejak era Cornelis, Sutarmidji, hingga Ria Norsan.

Istilah “karma politik” muncul dan cepat menyebar. Dalam diskusi antara kalangan akademisi, disimpulkan, “Ini seperti karma politik,” dan “Apa yang dulu ditanam ketika memegang kekuasaan, sekarang seakan dituai. Seolah siklusnya berulang,”.

Kata “karma” ini ditautkan ke memori pemerintahan Cornelis, Gubernur Kalbar dua periode, yang gaya pelantikan pejabatnya sempat dikritik publik karena dianggap keras, kurang akomodatif, dan sering mengabaikan etika birokrasi.

Kini, sebagian publik menilai Konflik Elite Kalbar kali ini seperti “pengulangan bab lama” dalam wajah baru.

Konflik ini juga dibaca sebagai bentuk “pembalasan politik”. Hal ini merujuk pada pengalaman Ria Norsan saat menjabat Wakil Gubernur mendampingi Sutarmidji, di mana relasi keduanya diberitakan media mengalami dinamika yang tidak selalu harmonis.

Kalangan pengamat juga menilai, “Aroma balas dendam itu terasa, meski tak ada yang pernah mau mengaku,”.

Kisruh pelantikan eselon II ini pun menjadi simbol dari bekas dendam, gengsi politik, dan pergulatan pengaruh dalam lingkaran elite daerah.

Baca Juga: AI dan Kerumunan

Urgensi Rekonsiliasi Pontianak Demi Stabilitas Sosial

Konflik Elite Kalbar yang berlarut-larut berpotensi memengaruhi stabilitas sosial. Kalbar merupakan salah satu provinsi dengan tingkat keragaman etnis dan keagamaan paling kompleks di Indonesia.

Setiap gesekan elite berpotensi memengaruhi stabilitas sosial di akar rumput. Di Kalbar, politik identitas adalah bara yang harus dijaga agar tidak kembali menyala.

Ketika konflik elite dibiarkan berlarut-larut, dampaknya bukan hanya instabilitas dalam tubuh birokrasi, tetapi juga potensi terpecahnya dukungan masyarakat berdasarkan garis etnis maupun kelompok politik. Sejarah telah menunjukkan: Pontianak pernah mengalami luka horisontal yang tidak ingin terulang.

Di tengah kisruh, suara Martinus Sudarno, Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Reformasi Birokrasi DPD PDI Perjuangan Kalbar, muncul sebagai seruan jernih. Ia menekankan bahwa apa pun polemik politik yang terjadi di level elite, jangan sampai mengorbankan kohesi sosial di masyarakat.

Martinus mengingatkan bahwa Pontianak sensitif terhadap ketidakadilan, dan konflik yang terlalu demonstratif dapat memicu tafsir sosial yang keliru, termasuk potensi gesekan horisontal antarkelompok.

Ia menegaskan pentingnya komunikasi elite untuk menjaga stabilitas pluralitas di Pontianak, mengingat sejarah panjang kerukunan yang diwariskan Kesultanan Kadriah.

Baca Juga: Untuk Para Insinyur Tetaplah Berkarya

Rekomendasi Martinus Sudarno: Jalan Keluar

Sebagai jalan menuju Rekonsiliasi Pontianak, Martinus Sudarno mengajukan tiga rekomendasi utama:

  1. Elite harus kembali ke meja komunikasi. Ini harus berupa komunikasi politik yang sejajar, saling menghormati, dan memahami kepentingan jangka panjang daerah.
  2. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, tempuhlah jalur hukum positif. Menurutnya, menempuh jalur hukum yang objektif lebih baik daripada memanfaatkan opini publik untuk saling memojokkan.
  3. Jika konflik bersifat politis, selesaikan melalui mekanisme politik. Tidak semua masalah mesti diseret ke meja hukum, apalagi jika substansinya adalah perbedaan pandangan dalam interpretasi kewenangan.

Ia mendorong pemuka adat, tokoh masyarakat, dan akademisi untuk turut menginisiasi resolusi damai. “Ini demi mencegah gesekan horisontal,” ujarnya.

Di Kalbar, tokoh adat memiliki legitimasi moral yang kuat, dan akademisi memiliki objektivitas analitis. Kombinasi keduanya menjadi jembatan untuk mengembalikan rasa percaya publik.

Baca Juga: Bencana Sebagai Ayat dan Cermin Bangsa

Untuk memutus rantai karma kekuasaan, elite Kalbar harus berani menatap masa depan dengan kesadaran baru: bahwa stabilitas sosial tidak dapat dirawat tanpa kedewasaan politik.

Rekonsiliasi bukan sekadar opsi, tetapi kebutuhan mendesak untuk menjaga harmoni warisan Kesultanan Kadriah dan keberlangsungan pluralitas Pontianak. Pontianak tidak layak menjadi korban dari perselisihan elite modern.

Oleh: Drs. Syarif Usmulyadi, M.Si.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id