Ketidaktahuan rakyat masih sering dimanfaatkan oleh ambisi politik para penguasa.
3. Kemiskinan Struktural yang Memelihara Kebodohan
Dukuh Paruk digambarkan sebagai wilayah yang terisolasi, miskin, dan kerontang.
Kemiskinan ini membuat pola pikir masyarakatnya menjadi sempit dan fatalis (pasrah pada nasib).
Mereka percaya bahwa menjadi miskin dan bodoh adalah takdir leluhur yang tidak bisa diubah.
Realitas Hari Ini:
Kemiskinan struktural masih menjadi PR besar bangsa ini.
Masih banyak wilayah di mana akses pendidikan dan kesehatan sangat minim, sehingga memutus mata rantai kemiskinan menjadi hal yang mustahil.
Seperti di Dukuh Paruk, kemiskinan sering kali melahirkan ketidaktahuan, dan ketidaktahuan membuat seseorang mudah dieksploitasi oleh pihak yang lebih kuat.
4. Sanksi Sosial Lebih Kejam daripada Penjara Fisik
Setelah peristiwa politik mereda, Srintil dan warga desa yang tersisa harus hidup dengan stempel buruk seumur hidup.
Mereka dikucilkan, dipandang hina, dan tidak diberi ruang untuk memperbaiki diri. Sanksi sosial inilah yang akhirnya menghancurkan kewarasan Srintil.
Realitas Hari Ini:
Kita hidup di era cancel culture dan stigma yang kejam.
Masyarakat kita sering kali menjadi hakim yang tidak kenal ampun.
Seseorang yang pernah berbuat salah—atau sekadar berbeda pandangan sering kali “dibunuh” karakternya, dikucilkan dari pergaulan, dan ditutup akses ekonominya tanpa diberi kesempatan kedua.
Stigma sosial tetap menjadi pembunuh berdarah dingin yang nyata di sekitar kita.
Membaca Ronggeng Dukuh Paruk adalah bercermin pada wajah kita sendiri.
Bahwa di balik kemajuan zaman, sisi kemanusiaan kita masih sering tertinggal di belakang.
Baca Juga: Bukan Sekadar Motivasi, Ini 5 Buku Wajib Baca bagi Gen Z untuk Memperluas Cara Pandang Dunia
(*Mira)
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















