Melampaui Kisah Fiksi, Ini 4 Potret Getir ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ yang Masih Relevan hingga Kini

"Bukan sekadar fiksi, ini 4 fakta miris dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yang masih relevan. Dari eksploitasi perempuan hingga korban politik, simak ulasannya."
Bukan sekadar fiksi, ini 4 fakta miris dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yang masih relevan. Dari eksploitasi perempuan hingga korban politik, simak ulasannya. (Dok. Ist)

Faktakalbar.id, LIFESTYLE – Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari bukan sekadar kisah percintaan Srintil dan Rasus.

Lebih dari itu, trilogi ini adalah dokumen sosial yang merekam luka, kemiskinan, dan ketidakberdayaan manusia di hadapan sistem yang menindas.

Meskipun berlatar di pedukuhan miskin pada era 1960-an, isu-isu yang diangkat di dalamnya terasa timeless (tak lekang waktu).

Jika kita melihat sekeliling, tragedi yang menimpa warga Dukuh Paruk sejatinya adalah cerminan dari apa yang masih terjadi di masyarakat modern kita, meski dengan wajah yang berbeda.

Baca Juga: Gajian Tiba? Traktir Imajinasi Anda dengan 4 Buku Berkualitas Ini

Berikut adalah 4 fakta miris dari novel tersebut yang selaras dengan realitas kehidupan nyata saat ini:

1. Tubuh Perempuan sebagai Komoditas Atas Nama “Tradisi”

Dalam novel, Srintil harus melewati ritual bukak klambu (semacam sayembara untuk menyerahkan keperawanan) demi dikukuhkan menjadi ronggeng sejati.

Yang menyedihkan, hal ini didukung penuh oleh warga desa dan dianggap sebagai kebanggaan adat.

Realitas Hari Ini:

Meskipun ritual semacam itu mungkin sudah pudar, objektifikasi terhadap perempuan masih subur.

Di era modern, kita melihat bagaimana standar kecantikan, eksploitasi di media sosial, hingga perdagangan manusia sering kali “dibungkus” dengan dalih tuntutan profesi atau gaya hidup.

Tubuh perempuan masih sering dianggap sebagai objek yang bisa dinilai dengan materi, di mana hak otoritas atas tubuhnya sendiri sering kali diabaikan oleh tekanan lingkungan.

2. “Wong Cilik” Selalu Jadi Korban Politik

Salah satu bagian paling menyayat hati adalah ketika warga Dukuh Paruk yang buta huruf terseret badai politik 1965.

Mereka tidak paham ideologi, mereka hanya menari karena dibayar dengan beras dan gula.

Namun, ketika kekuasaan berganti, merekalah yang paling menderita dipenjara, dikucilkan, dan dianggap musuh negara tanpa pernah tahu apa salah mereka.

Realitas Hari Ini:

Masyarakat akar rumput sering kali hanya menjadi “pelanduk yang mati di tengah gajah bertarung”.

Rakyat kecil kerap dimanfaatkan untuk mendulang suara saat pemilu dengan iming-iming sembako, namun ditinggalkan atau bahkan menjadi korban kebijakan elit setelah kekuasaan diraih.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id