Opini  

Renungan Ekologis-Sosial

"Gusti-Hardiansyah-Guru-besar-kehutanan"
Prof. Gusti Hardiansyah (Ketua FORDAS Kalbar). (Dok. Tangkapan Layar Folu Net Sink Indonesia)

Ketika danau menjadi dangkal, itu artinya hutan di hulu telah dikorbankan.
Ketika air keruh oleh lumpur, itu artinya tanah telah kehilangan penyangganya.
Ketika danau dipenuhi gulma, itu artinya ekosistem sudah meminta pertolongan.
Ketika ikan hilang, itu artinya ada yang tidak setara dalam rantai hidup.
Kerusakan danau bukan hanya soal ilmiah. Ia adalah soal etika. Soal bagaimana manusia memperlakukan rumahnya. Ada pepatah Dayak yang selalu saya ingat:

“Tanah bukan warisan dari leluhur, tetapi titipan untuk anak cucu.”

Kita mungkin merasa pepatah itu terdengar klise. Namun setiap kali melihat danau yang sekarat, kita tahu pepatah itu sedang mengingatkan: kita telah gagal menjaga titipan itu.

Baca Juga: Model Yurisdiksi Kalimantan Barat: Menjembatani Netralitas Karbon, Penghidupan Masyarakat, dan Kepemimpinan Regional

Batang Air, Batang Pikir: Kaitan Danau dan Manusia

Danau tidak rusak dengan sendirinya. Ada sebab-sebab jauh di hulu:

  • hutan yang ditebang,
  • gambut yang dikeringkan,
  • tanah yang digarap tanpa memikirkan erosi,
  • tata ruang yang tidak selaras dengan kontur air,
  • dan pembangunan yang berjalan tanpa jeda.

Semua ini adalah pilihan-pilihan manusia. Dan pilihan memiliki konsekuensi.

Batingsor badai, tingginya gelombang, kekeringan, banjir, dan kebakaran bukan bencana yang datang tiba-tiba. Ia adalah “buah pahit” dari keputusan-keputusan kecil yang terus terakumulasi. Ia datang karena kita lupa bahwa air, tanah, dan udara selalu bekerja dalam satu orkestra besar. Bila satu alat musik rusak, seluruh simfoni berubah sumbang.

Dan di sinilah danau mengajarkan kita sesuatu:

alam tidak pernah langsung marah; ia terlebih dahulu memberi tanda.

Baca Juga: MPTS di Gambut, Harapan Baru Desa Kubu Padi Sebagai Desa Penyangga KHDTK UNTAN

Danau Sentarum: Ketika Alam dan Kebudayaan Bertemu dalam Ruang Air

Tidak ada tempat yang lebih mengajarkan tentang hubungan antara alam dan manusia selain Danau Sentarum. Di sinilah, pada musim penghujan, puluhan danau menyatu membentuk hamparan air seluas ribuan hektare. Pada musim kemarau, danau-danau itu kembali terpisah, menampakkan pulau-pulau kecil dan lekuk tanah yang indah.

Danau Sentarum adalah buku pelajaran terbuka: tentang siklus hidup ikan, tentang strategi bertahan pohon rawa, tentang bagaimana masyarakat adat menyesuaikan kebiasaan mereka dengan naik-turunnya air.

Namun Danau Sentarum juga adalah alarm. Ia memperlihatkan apa yang terjadi ketika tekanan ekologis semakin besar: pencemaran, gulma, infrastruktur minim, sampai berkurangnya ikan air tawar yang menjadi sumber pangan pokok.
Ia adalah danau yang mengirimkan pesan:

jika Sentarum yang sebesar itu saja mulai goyah, bagaimana nasib danau-danau kecil lainnya?

Mengapa Kita Harus Menjaga Danau? Karena Danau Menjaga Kita.

Kita menjaga danau bukan karena romantisme alam. Kita menjaga danau karena ia adalah:

  • penyangga banjir,
  • penyimpan air untuk musim kemarau,
  • sumber pangan bagi masyarakat,
  • ruang hidup biodiversitas,
  • tempat belajar generasi muda,
  • dan jantung dari tata air Kalbar.

Tanpa danau yang sehat, ekonomi Kalbar akan rapuh.
Tanpa danau yang lestari, desa-desa di tepi Kapuas akan kehilangan identitas.
Tanpa danau yang terjaga, Kalbar akan menghadapi risiko ekologis yang semakin besar.
Danau adalah masa depan. Sesederhana itu.

Yang Kita Butuhkan: Keheningan Baru untuk Mendengar

Dalam hiruk pikuk pembangunan, sering kali yang hilang bukanlah niat baik, tetapi keheningan untuk mendengarkan alam. Kita lupa bahwa alam juga memiliki suara. Ia berbisik lewat retakan tanah, lewat warna air, lewat frekuensi banjir, lewat kehadiran gulma, lewat migrasi ikan yang melenceng dari musimnya.

Sebagai Ketua FORDAS, saya semakin percaya bahwa tugas terbesar kita bukan hanya menghitung pohon, mengukur debit air, atau menyusun peta. Tugas terbesar kita adalah menjembatani percakapan antara manusia dan alam.
Dan percakapan itu harus dimulai dari danau.

Penutup: Danau Adalah Cermin Kita

Pada akhirnya, menjaga danau bukan tentang danau.
Ia adalah tentang bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai bagian dari lanskap yang lebih luas.
Danau mengajarkan:

bahwa kehidupan memerlukan kesabaran,

bahwa alam bekerja dalam siklus panjang,

bahwa keberlanjutan membutuhkan kebijaksanaan,

bahwa keseimbangan adalah hukum tertua bumi,

bahwa manusia yang baik adalah manusia yang mampu menahan diri.

Ketika kita menatap danau, sesungguhnya kita sedang menatap masa depan kita sendiri. Bila permukaan air itu keruh, maka keruh pulalah masa depan kita. Bila danau itu tenang dan berkelimpahan, maka demikian pula kehidupan kita.
Danau-danau Kalimantan Barat sedang berbicara.

Pertanyaannya: apakah kita benar-benar mendengarnya?

Oleh: Prof. Gusti Hardiansyah – Ketua FORDAS Kalimantan Barat

*Disclaimer: Artikel ini adalah opini pribadi dari penulis dan tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi Faktakalbar.id.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id