Opini  

Renungan Ekologis-Sosial

"Gusti-Hardiansyah-Guru-besar-kehutanan"
Prof. Gusti Hardiansyah (Ketua FORDAS Kalbar). (Dok. Tangkapan Layar Folu Net Sink Indonesia)

“Danau-Danau yang Mengajar Kita tentang Sunyi: Refleksi dari Jantung Kalimantan Barat”

OPINI – Ada satu hal yang sering kali luput dalam percakapan kita tentang pembangunan: bahwa alam memiliki caranya sendiri untuk berbicara. Ia berbicara dalam bahasa yang lambat, halus, dan sering kali terabaikan. Namun bila kita mau berhenti sejenak meletakkan kesibukan, menurunkan suara, dan membuka mata kita akan mendengar bahwa sesungguhnya alam telah lama berusaha mengingatkan kita.

Dan salah satu suara yang paling jernih itu datang dari danau-danau Kalimantan Barat.

Danau-danau yang tenang, yang cahayanya memantulkan langit kemerahan di ujung hari, bukan hanya keindahan visual. Mereka adalah penjaga memori ekologi, saksi bisu terhadap perubahan zaman, dan penutur kisah tentang bagaimana manusia memperlakukan tanah dan air.

Di balik kejernihan permukaan air, ada cerita tentang hutan yang hilang. Tentang sungai yang berubah arah. Tentang masyarakat adat yang menjaga ritualnya, dan tentang tekanan pembangunan yang makin cepat melaju. Danau-danau itu adalah cermin dan bila kita memberanikan diri menatapnya, kita akan melihat diri kita sendiri.

Baca Juga: YLBHI Kecewa Putusan MK Tolak Gugatan UU TNI, Singgung Dissenting Opinion

Danau sebagai Ruang Sunyi yang Tidak Pernah Benar-Benar Sunyi

Banyak yang mengira danau adalah tempat yang sunyi. Padahal sunyi itu hanya milik permukaan. Di kedalaman, danau adalah ruang hidup yang begitu ramai: ikan yang bermigrasi mengikuti musim, akar-akar pohon rawa yang berpegangan pada tanah gambut, plankton yang bergerak mengikuti matahari, dan suara halus arus bawah yang mengingatkan kita bahwa perairan pun memiliki napas.

Di Kalimantan Barat, ada lebih dari 1000 danau dan genangan alami, mulai dari danau tapal kuda di sepanjang Sungai Kapuas, danau rawa gambut yang gelap seperti cermin obsidian, hingga danau musiman di Kapuas Hulu yang membentang luas ketika air naik. Namun, hanya sekitar 60 di antaranya yang memiliki nama.

Selebihnya adalah ruang-ruang tanpa identitas, tanpa sejarah tertulis, seolah menunggu untuk dikenali kembali oleh manusia yang pernah hidup berdampingan dengannya.

Dalam inventarisasi teknis yang kami lakukan di FORDAS, sering kali kami menemukan danau yang tidak disebutkan di peta mana pun. Danau yang hanya diketahui oleh satu-dua keluarga di desa terdekat. Danau yang dalam bahasa lokal disebut “tiwu”, “dare”, atau “lalan”, namun nama itu tidak pernah masuk arsip resmi.

Lalu, apa artinya sebuah danau tanpa nama?

Dalam dunia ekologis, mungkin tidak banyak. Tetapi dalam dunia budaya, sebuah danau tanpa nama adalah ruang yang kehilangan cerita dan itu berarti kehilangan sebagian dari jati diri lanskap.

Baca Juga: Refleksi Agustinus Agus: 11 Tahun Benahi Manajemen ‘Amburadul’ dan Dorong Digitalisasi di Pontianak

Peradaban Air: Inspirasi dari Kapuas dan Ribuan Danau

Kalimantan Barat adalah peradaban air. Kapuas bukan hanya sungai terpanjang di Indonesia, tetapi juga urat nadi kehidupan yang menghidupi danau-danau di sepanjang lembahnya.

Sungai dan danau saling mengisi, saling menahan, saling menopang. Ketika hulu dibersihkan, hilir bernapas. Ketika rawa menyimpan air, kota-kota terbebas dari banjir.

Namun hari ini, keseimbangan itu mulai rapuh. Kita melihat:

danau yang semakin dangkal,

gulma yang tumbuh tak terkendali,

ikan-ikan yang hilang dari rantai musimnya,

warna air yang berubah mengikuti hujan dan asap,

dan cerita-cerita nelayan yang semakin lirih.

Dalam banyak kunjungan lapangan, saya mendengar hal yang sama dari masyarakat adat:

“Danau ini dulu seperti ibu yang memberi makan. Sekarang, kami malah harus menjaga ibu itu agar tidak sakit.”
Ada kebijaksanaan yang dalam di sana. Bagi masyarakat adat di Kapuas Hulu, Melawi, atau Bengkayang, alam bukanlah objek yang dikelola, tetapi subjek yang disembah dengan rasa hormat. Mereka tidak sekadar hidup di tepi danau; mereka hidup bersama danau.

Baca Juga: Viral! Skandal Guru Sesama Jenis Pontianak: Pengamat Soroti Hilangnya Batas Profesional dan Dampak Terhadap Siswa

Kerusakan Alam Bukan Sekadar Soal Ekologi. Ini Soal Etika.

Dalam banyak diskusi tentang danau, kita sering terjebak pada angka-angka: berapa dalamnya danau itu, berapa pH airnya, berapa tingkat sedimentasinya. Semua itu penting. Namun sesungguhnya yang lebih penting adalah apa yang angka-angka itu katakan kepada hati nurani kita.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id