Hutan Lindung Jadi Sarang Penambang Liar, 1.400 Titik PETI Terdeteksi di Gunung Halimun Salak

Petugas gabungan dari Kementerian Kehutanan dan aparat keamanan saat melakukan penutupan lubang tambang emas ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Kamis (20/11/2025).
Petugas gabungan dari Kementerian Kehutanan dan aparat keamanan saat melakukan penutupan lubang tambang emas ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Kamis (20/11/2025). (Dok. Ist)

Faktakalbar.id, SUKABUMI – Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Penindakan Pidana Kehutanan mengungkap fakta mencengangkan terkait kerusakan lingkungan di Jawa Barat.

Tercatat, terdapat sekitar 1.400 titik tambang emas ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang beroperasi secara masif di dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Baca Juga: PERHAPI Desak Penindakan Tambang Ilegal Dijalankan Lintas Lembaga

Data tersebut diungkapkan langsung oleh Direktur Penindakan Pidana Kehutanan, Rudianto Saragih Napitu, saat memimpin operasi penertiban gabungan di lokasi.

Bersama unsur terkait lainnya, Rudianto melakukan penutupan paksa terhadap 88 lubang tambang yang berada di area Blok Gunung Peti dan Cibuluh, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, pada Kamis (20/11/2025).

Rudianto menjelaskan bahwa angka 1.400 lubang tersebut bukan sekadar estimasi kasar, melainkan hasil pendataan intensif yang telah dilakukan oleh tim Kementerian Kehutanan sebelumnya. Modus operandi pembuatan lubang pun bervariasi dan sangat berbahaya.

“Pendataan lubang di TNGHS ini telah dilakukan Kementerian Kehutanan, itu diperkirakan 1.400 lubang. Itu ada modelnya vertikal ke bawah dan di bawah menjadi horizontal, ada yang masuk tebing dulu baru menanjak,” kata Rudianto di lokasi penutupan.

Pemerintah memastikan tidak akan tinggal diam melihat kerusakan ekosistem ini. Ke depan, kementerian berkomitmen untuk melakukan penutupan tambang emas ilegal tersebut secara bertahap namun pasti.

Langkah ini merupakan kelanjutan dari upaya penegakan hukum sebelumnya, di mana pemerintah juga telah menutup sekitar 200 lubang PETI di kawasan konservasi yang sama.

Rudianto menegaskan bahwa penindakan tidak hanya berhenti pada penutupan fisik lubang, tetapi juga menyasar ranah hukum pidana bagi para pelaku utama.

“Sebelumnya, kami juga sudah menindak dan sudah ada yang masuk ke arah pidana,” terang Rudianto.

Dalam keterangannya, Rudianto menyoroti ironi di balik aktivitas ilegal ini. Menurutnya, keberadaan PETI sejatinya tidak mensejahterakan masyarakat lokal yang sering kali hanya menjadi buruh gali dengan risiko nyawa yang tinggi.

Keuntungan besar justru dinikmati oleh segelintir pemodal atau cukong yang berada di balik layar.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id