“Menjaga Hutan, Menguatkan Hak, Menopang Masa Depan: Jalan Tengah Ketahanan Lanskap Kalimantan Barat”
OPINI – Pemandangan ruang lokakarya pagi ini kursi panel yang tertata rapi, latar bertuliskan “Penguatan Hak Masyarakat Lokal dan Ketahanan Lanskap”, serta peserta dari berbagai daerah menunjukkan satu hal: Indonesia sedang mencari jawaban atas tantangan yang menganga di hadapan kita. Bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan hutan, penguatan hak masyarakat, dan kebutuhan pembangunan ekonomi?
Pertanyaan ini krusial karena Kalimantan Barat (Kalbar) adalah rumah bagi hutan hujan tropis, gambut, mangrove, keanekaragaman hayati tinggi, sekaligus sumber mata pencaharian jutaan penduduk.
Namun, ia juga berada di tengah risiko iklim yang kian ekstrem, tekanan produksi, serta ketimpangan akses kelola ruang. Oleh sebab itu, lokakarya ini bukan sekadar forum akademik ia adalah ruang untuk mempertemukan sains, kebijakan, dan suara masyarakat.
Hutan Tropis dan Ketahanan Lanskap: Panggung Tarung Masa Depan
Krisis iklim telah menempatkan hutan tropis pada garis depan. IPCC (2023) mencatat bahwa wilayah tropis Asia Tenggara menghadapi peningkatan suhu 1,1–1,4°C, perubahan pola curah hujan ekstrim, serta ancaman kebakaran lebih sering fenomena yang sudah dirasakan Kalbar dalam bentuk kabut asap, banjir bandang (batingsor), dan kekeringan di KHG.
Baca Juga: Program Makan Bergizi Gratis dalam Pemenuhan HAM di Kalimantan Barat
Di sisi lain, FAO (2022) menunjukkan bahwa 55% hutan tropis yang tersisa berada di negara dengan tekanan penggunaan lahan tinggi, termasuk Indonesia. Artinya, mempertahankan ketahanan lanskap bukan sekadar agenda lingkungan, tetapi agenda pembangunan dan kesejahteraan.
Namun ketahanan lanskap tidak akan tercapai tanpa dua hal: sains yang kuat, serta pengakuan hak masyarakat lokal sebagai penjaga bentang alam.
Masyarakat Lokal dan Adat: Penjaga yang Terpinggirkan
Meskipun riset global menunjukkan bahwa wilayah adat kehilangan hutan jauh lebih rendah dibanding kawasan lain—sebagaimana ditunjukkan dalam laporan Rights and Resources Initiative (2021) masyarakat lokal sering kali menjadi kelompok terakhir yang terlibat dalam penetapan kebijakan ruang.
Padahal di Kalbar, sistem ladang rotasi, tembawang, kubur leluhur, maupun zona larangan adat terbukti menjaga siklus ekologis selama ratusan tahun. KLHK (2024) mencatat bahwa Kalbar memiliki lebih dari 783.000 ha izin Perhutanan Sosial, terbanyak di Indonesia, yang telah membangun usaha madu, rotan, tengkawang, jahe, dan damar dalam skala ekonomi lokal.
Dengan kata lain, masyarakat bukan ancaman bagi hutan; mereka adalah penjaga paling efektif jika diberi akses dan ruang untuk mengelola.
Areal Nilai Konservasi Tinggi (ANKT): Basis Ilmiah untuk Jalan Tengah
Di tengah dinamika tersebut, pemetaan ANKT (Areal Nilai Konservasi Tinggi) muncul sebagai instrumen ilmiah yang menjadi jembatan antara konservasi, hak masyarakat, dan pembangunan ekonomi.
Provinsi Kalbar telah mengidentifikasi 37% wilayahnya sebagai ANKT, yang mencakup enam kategori HCV: keanekaragaman hayati, ekosistem lanskap luas, habitat spesies terancam, kawasan lindung jasa ekosistem, kebutuhan dasar komunitas lokal, dan nilai budaya.
Dari sisi kebijakan, ANKT menjadi dasar bagi berbagai instrumen daerah seperti RTRW, RPPLH 2024–2054, KLHS, RAD Sawit, dan kebijakan FOLU Net Sink 2030. Hal ini sejalan dengan Global Biodiversity Framework (2022) yang menargetkan perlindungan 30% darat dan air dunia serta konektivitas ekologis.
Dari sisi pembangunan, adanya ANKT memberi kepastian bagi dunia usaha PBPH maupun perkebunan untuk memetakan zona produksi dan zona konservasi sehingga risiko hukum dan konflik sosial dapat ditekan.
Dari sisi sosial, ANKT melindungi kawasan penting budaya (NKT 6) dan fungsi dasar subsisten masyarakat (NKT 5). Hal ini penting karena sistem tembawang, sumber air adat, dan kawasan leluhur tidak pernah tercantum dalam peta teknokratik sebelum konsep ANKT digunakan.
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id













