Nostalgia ‘Lelaki di Tengah Hujan’: 4 Pelajaran Pahit dari Mimpi Kaya Era Judi Porkas

"Mengenang fenomena sosial judi Porkas di era 80-an yang diceritakan dalam 'Lelaki di Tengah Hujan'. Simak 4 pelajaran pahit dari ilusi mimpi kaya instan."
Mengenang fenomena sosial judi Porkas di era 80-an yang diceritakan dalam 'Lelaki di Tengah Hujan'. Simak 4 pelajaran pahit dari ilusi mimpi kaya instan. (Dok. Ist)

Tabel statistik, perhitungan rumit, hingga tafsir mimpi, kode buntut (plat nomor kecelakaan), atau bahkan cicak yang jatuh, semuanya dianggap sebagai “wangsit”.

Era Porkas melahirkan budaya ‘ngotak-ngatik gatuk’ (mencocok-cocokkan) yang luar biasa.

Ini adalah cerminan masyarakat yang kehilangan kendali atas nasib ekonominya, sehingga mereka mencari-cari pola dan tanda di tempat yang paling tidak masuk akal.

3. Hilangnya Produktivitas Kolektif

Dalam novel tersebut, sang tokoh utama akhirnya kehilangan pekerjaannya bukan karena dipecat, tapi karena fokusnya sudah terbelah.

Pikirannya tidak lagi di pabrik, tetapi pada angka yang akan keluar di koran Pos Kota keesokan harinya.

Ini adalah kritik sosial yang tajam.

Porkas/SDSB secara masif menggerus jam-jam produktif. Alih-alih bekerja atau berdagang, ribuan (bahkan jutaan) orang menghabiskan waktu, energi, dan pikiran mereka untuk aktivitas spekulatif yang tidak menghasilkan apa-apa.

Negara mungkin mendapat untung sesaat, tetapi kehilangan produktivitas rakyatnya dalam jangka panjang.

4. Kekecewaan sebagai Menu Harian

Tentu saja, 99.9% pemain Porkas adalah pecundang.

“Lelaki di Tengah Hujan” menggambarkan dengan getir rutinitas di pagi hari setelah pengundian: wajah-wajah muram, kupon yang diremas, dan sumpah serapah pelan.

Namun, ironisnya, kekecewaan itu tidak membuat mereka berhenti.

Siklus ini harapan yang menggebu  pengorbanan finansial kekecewaan pahit mengulang harapan adalah inti dari kecanduan.

Fenomena ini mengajarkan bahwa judi legal bukanlah solusi ekonomi, melainkan pencipta masalah sosial baru, membiarkan warganya hidup dalam siklus kekecewaan yang tak berujung.

Membaca “Lelaki di Tengah Hujan” di era 1998 (seperti dalam premis kita) terasa seperti melihat luka lama.

Meskipun Porkas dan SDSB telah tiada, bentuk “mimpi instan” itu terus berevolusi hingga hari ini.

Pelajaran dari era itu tetap relevan: jalan pintas menuju kekayaan seringkali merupakan rute tercepat menuju kemiskinan.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Buku Terbaik untuk Mulai Memahami Feminisme (Novel dan Non-Fiksi)

(*Mira)

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id