Nostalgia ‘Lelaki di Tengah Hujan’: 4 Pelajaran Pahit dari Mimpi Kaya Era Judi Porkas

"Mengenang fenomena sosial judi Porkas di era 80-an yang diceritakan dalam 'Lelaki di Tengah Hujan'. Simak 4 pelajaran pahit dari ilusi mimpi kaya instan."
Mengenang fenomena sosial judi Porkas di era 80-an yang diceritakan dalam 'Lelaki di Tengah Hujan'. Simak 4 pelajaran pahit dari ilusi mimpi kaya instan. (Dok. Ist)

Faktakalbar.id, LIFESTYLE – Tahun 1998 adalah tahun penuh gejolak; era di mana Orde Baru runtuh dan Reformasi lahir.

Di tengah ketidakpastian itu, banyak orang merenung dan mengenang kembali masa lalu.

Novel fiktif “Lelaki di Tengah Hujan” (yang kita andaikan terbit tahun 1998) menangkap fenomena ini dengan sempurna, dengan mengambil latar cerita pada fenomena judi Porkas di era 1980-an.

Bagi mereka yang tumbuh di era 80-an hingga awal 90-an, istilah Porkas (dan penerusnya, SDSB) bukanlah sekadar judi.

Baca Juga: Melacak Jejak Sejarah Lewat 3 Buku Pilihan Wenri Wanhar

Ia adalah fenomena sosial, sebuah “mimpi” kolektif untuk kaya secara instan yang dilegalkan oleh negara.

Buku “Lelaki di Tengah Hujan” tidak hanya bercerita tentang seorang pria yang kalah oleh nasib.

Ia membedah bagaimana sebuah kupon harapan palsu mampu menggerogoti kewarasan, logika, dan tatanan sosial di warung kopi hingga rumah tangga.

Berikut adalah 4 pelajaran pahit yang bisa kita petik dari era tersebut, seperti diceritakan dalam novel itu.

1. Ilusi Jalan Pintas (Hope Pornography)

Novel “Lelaki di Tengah Hujan” menggambarkan bagaimana tokoh utamanya rela tidak makan atau menunda membeli susu anak, demi selembar kupon Porkas.

Fenomena ini adalah realitas di era itu.

Porkas menjadi candu karena ia menjual harapan sebuah ilusi jalan pintas di tengah himpitan ekonomi.

Mimpi instan seringkali dibayar dengan pengorbanan kebutuhan primer.

Era itu mengajarkan bahwa ketika sebuah harapan palsu dilembagakan, yang paling miskinlah yang akan menjadi korban paling setia, mengorbankan masa kini mereka untuk “undian” masa depan yang kemungkinannya nyaris nol.

2. Lahirnya Budaya “Merumus” (Logika vs Mistik)

Salah satu gambaran sosial paling kuat di buku ini adalah adegan di warung kopi.

Para lelaki berkumpul bukan untuk bekerja, melainkan untuk “merumus” angka.

Di sinilah logika dan mistik berbaur secara absurd.

Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id