Faktakalbar.id, NASIONAL – Hari ini, 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Di balik upacara dan pidato seremonial, muncul pertanyaan penting: apakah sistem pendidikan Indonesia saat ini benar-benar mampu mendorong kemajuan bangsa?
Di tengah terus meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi, ironisnya, angka pengangguran terdidik justru naik. Di sinilah pendidikan Indonesia diuji apakah masih relevan atau hanya sebatas formalitas.
Laporan McKinsey Global Institute bertajuk The Enterprising Archipelago mengidentifikasi lima modal utama penggerak produktivitas nasional: modal manusia, keuangan, institusional, infrastruktur, dan kewirausahaan. Dari kelimanya, modal manusia menjadi fondasi paling utama. Sayangnya, kualitas SDM di Indonesia masih belum merata.
Baca Juga: Norsan-Krisantus Siapkan Regulasi Khusus Atur Investor untuk Serap Tenaga Kerja Lokal
Hanya 40% penduduk usia 25–34 tahun yang menyelesaikan pendidikan menengah atas. Sementara itu, angka partisipasi pendidikan tinggi belum sejalan dengan kebutuhan dunia kerja. Ketidaksesuaian antara pendidikan dan pasar kerja dikenal dengan istilah mismatch menjadi bom waktu yang mengancam masa depan generasi muda.
Faktanya, dua dari tiga pengangguran di Indonesia berasal dari lulusan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi. Mereka bukan tidak cerdas, tetapi keterampilan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
Data menunjukkan bahwa meskipun jumlah pengangguran lulusan sarjana sempat turun menjadi 842.000 orang pada tahun 2024, angka ini tetap hampir dua kali lipat dibandingkan 2014. Sebaliknya, lulusan diploma yang cenderung lebih aplikatif mencatat angka pengangguran yang lebih stabil. Hal ini menegaskan bahwa gelar akademik saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah keterampilan yang relevan.
Sayangnya, banyak universitas belum mampu beradaptasi. Kurikulum masih terlalu teoritis, hubungan antara kampus dan industri masih lemah, dan semangat kewirausahaan belum menjadi prioritas utama. McKinsey juga menyoroti minimnya pelatihan langsung (on-the-job learning) dalam sistem pendidikan formal Indonesia.
Baca Juga: Anak Bawah Umur Nyaris Dikirim ke Malaysia untuk Jadi Tenaga Kerja Ilegal
Negara-negara seperti Tiongkok dan Singapura dapat menjadi contoh. Mereka secara aktif menyesuaikan sistem pendidikan dengan dinamika pasar kerja dan menetapkan kuota untuk jurusan strategis yang dibutuhkan negara.
Indonesia juga menghadapi tantangan serius terkait produktivitas. Setelah sempat tumbuh 3% per tahun pada periode 2002–2016, kini laju pertumbuhannya melambat menjadi hanya 2%. Jika mayoritas lulusan tidak relevan dengan kebutuhan masa depan seperti sektor digital, manufaktur, kecerdasan buatan (AI), dan energi hijau maka cita-cita menjadi negara maju sebelum 2045 bisa jadi hanya tinggal impian.
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momen refleksi. Ini bukan lagi soal siapa punya gelar apa, tetapi siapa yang benar-benar bisa berkontribusi. Pendidikan Indonesia harus bertransformasi dari pemberi gelar menjadi pencetak talenta produktif.
Tanpa perubahan orientasi, kita bukan hanya akan kehilangan bonus demografi, tetapi juga kehilangan momentum sejarah menuju masa depan yang lebih maju.
Baca Juga: Sindikat Perdagangan Manusia Internasional Terungkap di Pontianak, Dua Pelaku Ditangkap
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id
















