Tubuhnya pun menyimpan luka-luka yang tidak biasa. Ada memar di pergelangan tangannya, luka sayatan di lengannya, dan bekas seretan di kakinya.
Rekan-rekan seprofesinya mulai bergerak. Mereka menolak menerima kematiannya sebagai takdir semata. Suara-suara mulai menggema. Ini bukan kecelakaan, ini pembunuhan.
Kasus ini mengguncang publik. Dunia jurnalistik berduka, tetapi mereka juga marah. Tekanan demi tekanan mendorong kepolisian untuk mengusut lebih dalam.
Hingga akhirnya, seorang anggota TNI AL berinisial J ditetapkan sebagai tersangka.
J adalah sosok yang diduga memiliki keterkaitan dengan kasus yang tengah diselidiki Juwita. Apakah ia terbunuh karena tulisannya? Apakah ia tahu sesuatu yang tak seharusnya ia ketahui?
Keluarga Juwita terpukul. Ibunya, seorang wanita paruh baya yang selama ini selalu mendukung anaknya, kini harus menerima kenyataan pahit bahwa putrinya tak akan pernah pulang.
“Anak saya hanya ingin menyampaikan kebenaran, mengapa dia harus mati?” tangisnya pecah dalam pelukan kerabat yang ikut berduka.
Kini, proses hukum sedang berlangsung. Publik menuntut keadilan. Mereka menolak membiarkan kematian Juwita menjadi sekadar angka dalam laporan tahunan.
Ia adalah simbol dari kebenaran yang terbungkam. Setiap kata yang ia tulis kini menjadi nyala api yang tak bisa dipadamkan.
Mereka yang mencintainya menangis, tetapi mereka juga bersumpah: Juwita tidak akan dilupakan.
Ia akan hidup dalam setiap jurnalis yang terus menulis, dalam setiap kebenaran yang terungkap, dalam setiap suara yang menolak bungkam.
Di suatu tempat, di balik kabut senja Banjarbaru, roh Juwita mungkin tersenyum. Ia telah pergi dalam sunyi, tetapi suaranya akan tetap menggema selamanya.
Camanawak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id