Akademisi Untan: Penghapusan Presidential Threshold Perlu Dikaji Ulang

Akademisi Ilmu Politik dan Kepala Program Studi Ilmu Politik, Herri Junius Nge, S.Sos., M.Si.

“Presiden akhirnya akan berpikir bahwa kita menghamburkan dana politik itu luar biasa, kenapa tidak kita hemat dana itu untuk pembangunan? Ini kan akhirnya makan siang gratis, pajak-pajak dinaikkan. Saya tidak anti, tetapi kita memang perlu efisiensi dalam pemilihan presiden maupun kepala daerah,” pungkasnya.

Baginya, partai politik adalah yang seharusnya dibenahi jika ingin menjalankan kebijakan penghapusan Presidential Threshold ini. Ia menilai fungsi rekrutmen dan penyederhanaan partai politik diperlukan di Indonesia saat ini.

“Yang dituntut oleh kalangan ilmuwan politik itu kan penyederhanaan partai politik. Tidak hanya penyederhanaan, tetapi fungsinya juga jalan. Fungsi rekrutmennya jalan, ini kan tidak,” tegasnya.

Ia pun mengungkapkan bahwa sandera menyandera dalam perpolitikan di Indonesia yang sangat kental menjadikan perubahan yang dilakukan ini sangat perlu dikaji lebih jauh apakah bisa dijalankan dengan baik atau justru malah menjadikan masalah baru.

“Dengan adanya ini, saya khawatir ujung-ujungnya kan kompromi. Contoh, presiden terpilih digoyang oleh suatu partai. Nanti saling kompromi, jangan buka kasus ini dan sebagainya. Di Indonesia, kan ini terlalu nampak. Kalau orang politik membacanya terlalu gampang. Saling sandera menyandera itu kental sekali. Secara pribadi, saya tidak terlalu setuju kalau sampai dihapuskan,” tuturnya.

Ia pun kembali berseloroh bahwa partai di Indonesia saat ini tidak ada bedanya dan cenderung pragmatis, serta menyampaikan bahwa partai politik harus berbenah sebelum kemudian penghapusan Presidential Threshold dijalankan.

“Sekarang kan partai kita partai pragmatis semua. Saya pernah tanyakan kepada mahasiswa mengenai apa bedanya Gerindra, Nasdem, dan Golkar. Ya, beda warnanya saja yang lainnya sama. Masalahnya memang di partai saat ini,” ungkapnya. (mro)