PONTIANAK – Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu membuat sebuah gebrakan dalam sistem pencalonan presiden dengan menghapuskan Presidential Threshold sehingga mengakibatkan banyak partai yang bisa memajukan calon presiden pilihan mereka.
Akademisi Ilmu Politik, Herri Junius Nge yang juga menjabat sebagai Kepala Program Studi Ilmu Politik menilai bahwa hal ini terlalu ekstrem dan bisa saja menjadi masalah jika tidak dilakukan dengan pengkajian yang benar.
“Menurut saya dengan penghapusan itu terlalu ekstrem. Artinya, tentu kita juga mendukung presidential threshold tidak sebesar yang kemarin. Katakanlah kemarin itu 20% begitu, tapi tidak juga nol. Kalau menurut saya, nol itu bisa jadi catatan juga ya. Memang dikatakan akan memperkuat sistem kita, tapi menurut saya juga akan jadi masalah,” ucapnya.
Dirinya pun menyampaikan, meski dihapuskannya Presidential Threshold, koalisi antar partai tidak mungkin terelakkan. Terlebih dengan partai politik di Indonesia yang dinilai pragmatis dan cenderung mengikut pada pihak yang menang.
“Partai kita ini kan pragmatis semua sehingga tak terbayangkan pada saat Pemilu kemarin, masyarakat terpecah-pecah. Kemudian, ternyata setelah Pemilu, yang kalah bergabung ke yang menang bahkan sampai dapat kursi juga dan saya melihat bahwa ini yang perlu dibenahi,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan ini akan membebani dan membuat bingung masyarakat dengan pilihan yang sangat banyak. Dirinya pun menilai bahwa sejatinya tidak ada pemimpin yang benar-benar baik, sehingga kualitas tentu menjadi hal yang akan diperhatikan pertama.
“Bayangkan kalau kira-kira ada 10 calon presiden begitu. Efeknya akan terjadi ke masyarakat, masyarakat akan bingung sehingga masalah-masalah teknis itu juga perlu dipertimbangkan. Toh, tidak ada pemimpin yang benar-benar baik. Akhirnya kualitasnya yang dilihat,” katanya.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa jangan sampai justru pemerintah menghambur-hamburkan uang hanya untuk saat pemilihan dan tidak berpikir dengan pembangunan yang bisa digunakan dari dana tersebut.