Jaksa Bacakan Dakwaan 4 Terdakwa, Satu Koruptor Waterfront Sambas Belum Dituntut karena Alasan Sakit

Suasana sidang perkara korupsi Waterfront Sambas di Pengadilan Tipikor Pontianak. Foto : Dody Luber

“Kita tunggu putusannya nanti seperti apa. Terlebih dahulu diawali dengan pembelaan Kami sebagai penasehat hukum maupun pembelaan tertulis dari terdakwa sendiri,” jelas dia.

Adapun, sidang perkara korupsi Waterfront Sambas untuk agenda selanjutnya adalah pembacaan pledoi dari para terdakwa.

Sekedar informasi, kasus korupsi renovasi kawasan Waterfront Sambas pada Dinas PUPR Kalbar tahun anggaran 2022 terkuak, ketika penyidik Kejaksaan Tinggi Kalbar menemukan adanya indikasi kerugian negara yang mencapai Rp1,8 miliar dari total pagu anggaran sekitar Rp8 miliar yang dikucurkan pemerintah.

Proyek Waterfront Sambas tersebut dilaksanakan oleh Suhaidi dengan meminjam CV. Zee Indo Artha yang merupakan perusahaan milik terdakwa Hermansyah.

Dalam perusahaan tersebut, Hermansyah bertindak sebagai direktur di perusahaan yang menandatangani dokumen kontrak terkait dengan pekerjaan renovasi Waterfront Sambas.

Berdasarkan informasi yang diterima tim redaksi, terdakwa Hermansyah telah mengirimkan surat pemberitahuan tentang fakta-fakta persidangan di lapangan kepada Kejati Kalbar pada Jumat 28 Juni 2024 lalu.

Adapun kesimpulan dari 9 poin yang disampaikan adalah adanya kesepakatan peminjaman bendara CV. Zee Indo Artha antara terdakwa Hermansyah dan Suhaidi yang ditandatangani bersama.

Dalam kesepakatan peminjaman bendera, Hermansyah hanya menandatangani berkas-berkas perusahaan, seperti dokumen-dokumen kontrak terkait pekerjaan Waterfront Sambas.

Sementara, Suhaidi mengurusi semua pekerjaan di lapangan dari mulai pendanaan terkait pengadaan barang-barang pekerjaan, peminjaman alat berat seperti eksavator, crane, ponton dan sebagainya. Metode kerja sampai ke hal-hal teknis lainnya, seperti penunjukan site manager dan tukang-tukang yang bekerja di lapangan menjadi tanggung jawab Suhaidi sebagai peminjam perusahaan.

Persoalan peminjaman bendera perusahaan dengan kesepakatan antara peminjam Suhaidi dan pemilik Hermansyah ini pun kemudian disoroti oleh pengamat hukum dan kebijakan publik Kalbar Herman Hofi Munawar.

Herman berpendapat, ketika seseorang menggunakan perusahaan orang lain untuk mengerjakan proyek, dan apabila telah ada kesepakatan bersama secara tertulis, bahwa pengerjaan proyek tersebut tanggung jawab peminjam, maka direktur perusahaan tidak bisa diproses hukum.

“Jadi cukup di bawah tangan saja, dan tidak mesti ke notaris, pernyataan kesepakatan meminjam perusahaan. Orang yang meminjam perusahaan menyatakan bertanggung jawab penuh terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam proses pekerjaan, selama ia menggunakan perusahaan yang dipinjam, maka pemilik perusahaan tidak bisa dipidana,” ujar dia belum lama ini.

Sehingga tidak dibenarkan apabila pemilik maupun direktur perusahaan yang dipinjam tersebut dijadikan sebagai tersangka, dan kemudian ditahan. Ia mengatakan, karena tanggung jawab hukumnya ada pada pengguna perusahaan.

Terkecuali, kata dia, kalau memang tidak ada bukti-bukti maupun surat perjanjian, berarti yang terjerat proses hukumnya adalah pemilik perusahaan. Jadi, pemilik perusahaanlah yang bertanggung jawab penuh.

Selain itu, dosen senior di Universitas Panca Bhakti Pontianak ini juga menyoroti ketidakhadiran Suhaidi saat sidang awal hingga sidang dengan agenda pembacaan tuntutan oleh JPU.

Menurut dia, proses hukum kasus korupsi Waterfront Sambas terkesan tidak terbuka, dan ada yang ditutup-tutupi.

Proses hukum ini memerlukan transparansi karena ini persoalan publik, maka ketika ada terdakwa tidak ditahan, mestinya disampaikan juga ke publik mengapa terjadi seperti demikian.

“Apakah betul yang bersangkutan sakit? Kalau memang sakit harus jelas, sakit seperti apa. Harus jelas juga, seperti ada surat-surat dari dokter yang menunjukan bahwa yang bersangkutan memang benar-benar tidak bisa menghadiri persidangan,” ujar dia.

Ini sangat tidak adil ketika empat terdakwa tersebut disidangkan dan ditahan. Sementara, kata Herman, satu orangnya lagi dibiarkan saja berada di rumah, tanpa ada penjelasan yang kongkret.

Sehingga, wajar apabila publik mempertanyakan mengapa bisa terjadi seperti demikian, karena ini adalah persoalan keadilan yang sebetulnya harus dipahami oleh jaksa penuntut umum (JPU).***