Pakaian bekas impor juga biasanya masuk di Perbatasan Kalimantan, utamanya di Kalimantan Barat seperti Jagoi Babang, Sintete, dan Entikong.
“Dengan modus menyembunyikan pakaian bekas pada barang pelintas batas, barang bawaan penumpang, atau menggunakan jalur-jalur kecil melewati hutan yang sulit terdeteksi oleh petugas,” jelas Nirwala dalam keterangan tertulisnya kepada CNBC, Jumat (17/3).
Bea Cukai mencatat, pada 2022 volume impor pakaian bekas dengan HS Code 63090000 mencapai 26,22 ton atau melonjak 227,75% dibandingkan volum impor pakaian bekas pada tahun 2021 yang hanya 8 ton.
Nirwala menyebut, volume impor pakaian bekas yang mencapai 26,22 ton tersebut, nilai devisa impornya diperkirakan mencapai US$ 272.146 atau setara Rp 4,21 miliar.
“Namun, data tersebut merupakan data importasi pakaian bekas yang merupakan personal effect (barang pindahan), dan juga diplomatic cargo,” jelas Nirwala.
“Di luar hal ini, pemerintah melarang importasi pakaian bekas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan,” kata Nirwala lagi. Aturan pelarangan importasi pakaian bekas yang dimaksud Nirwala, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51 Tahun 2015 dan juga Permendag Nomor 18 tahun 2021 yang telah diubah menjadi Permendag Nomor 40 tahun 2022.
Adapun sepanjang tahun 2022, kata Nirwala Bea Cukai telah melakukan penindakan terhadap impor pakaian bekas ilegal melalui laut dan darat sebanyak 234 kali dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp. 24,21 miliar.
Penindakan yang terjadi pada 2022 tersebut mengalami peningkatan dari beberapa tahun sebelumnya, yakni 165 kali penindakan dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp 17,42 miliar pada 2021 dan 169 kali penindakan dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp 10,37 miliar pada 2020.
Nirwala bilang, dalam menjalankan fungsi pengawasan oleh Bea Cukai, pihaknya menjalin sinergi dan koordinasi dengan aparat penegak hukum lain yang terkait, seperti Polairud, KPLP, Bakamla, TNI AL, dan lain sebagainya.
“Kita semua perlu memahami bahwa permasalahan importasi pakaian bekas ilegal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab satu instansi pemerintah tertentu saja, diperlukan sinergi dan koordinasi antar berbagai instansi yang terkait untuk dapat bersama-sama menyelesaikan permasalahan ini dari hulu ke hilir,” ucap Nirwala. (rfk)