“Inflasi pangan itu adalah 20 persen dari komposisi pengeluaran masyarakat, itu secara total. Bagi rakyat di bawah, itu bisa 40 atau 50 persen. Yang tinggi, atau yang kaya-kaya itu mungkin (dampaknya) kecil tapi yang masyarakat bawah itu inflasi pangan itu bisa (berdampak) 40-50 atau bahkan 60 persen dari bobot pengeluaran mereka. Jadi menurunkan 10,47 persen menjadi enam atau bahkan lima persen betul-betul dampak sosialnya sangat besar untuk mensejahterakan rakyat,” jelas Perry.
Sejauh ini, pemerintah bersama dengan pemerintah daerah, BI dan berbagai lembaga lain menggalakkan GNPIP untuk terus menekan laju inflasi pangan. Operasi pasar, ujar Perry, akan segera dilakukan diberbagai daerah agar kelak harga-harga kebutuhan pokok bisa segera stabil.
Lebih jauh, Perry menjelaskan semua pihak harus bekerja sama dengan baik untuk menurunkan inflasi pangan tersebut. Pasalnya, meskipun perekonomian tanah air pada triwulan kedua tumbuh 5,44 persen, perekonomian Indonesia belum pulih sepenuhnya dari goncangan pandemi COVID-19.
“Apa dampak dari global terhadap ekonomi Indonesia khususnya inflasi dan harga-harga yang langsung kena ke rakyat. Sinergi antara pemerintah. BI dan berbagai lembaga dan pemda sangat baik sehingga ekonomi kita bisa tumbuh sangat tinggi 5,44 persen. Tapi ini belum pulih, karena rakyat baru mulai bisa makan enak setelah Ramadhan kemarin. Sebelumnya tidak bisa makan enak karena COVID-19, baru travelling, baru makan (enak) sejak Ramadhan kemarin, tapi belum pulih benar,” kata Perry.(r/voa)
Ikut berita menarik lainnya di Google News Faktakalbar.id










